• Home
  • About
  • Contact
Powered by Blogger.
facebook twitter instagram Email

Curlnology

Kalau mengingat-ingat lagi masa perkuliahan dari semester 3 sampai semester 7, rasanya itu... luar biasa, melelahkan, dan ajaib!!!

Semester 3 sampai semester 6 saya ngerasain yang namanya "berdarah-darah" ngerjain tugas; mulai dari tugas mingguan Abang Sahala, tugas wawancara, nulis straight news, nulis feature, nulis artikel, produksi jurnalistik (TV, majalah, dan radio), sampai berita mendalam.

Apalagi saat semester 3, saya dan teman-teman seangkatan harus melalui dulu yang namanya 'Orientasi Jurnalistik' (OJ) sebelum sah bergabung di Himpunan Mahasiswa Jurnalistik (HMJ). Semester 3 jadi salah satu semester berat, karena tugas bejubel plus dibarengi OJ yang waktunya bener-bener random.

Pastinya, selama kuliah liputan dan wawancara itu udah jadi kebiasaan. Baca majalah Tempo tiap minggu juga makin sering karena jadi tugas mingguan. Begadang, nggak mandi, ke kampus belum tidur pun jadi rutinitas sehari-hari. Ditambah lagi saya harus bisa menyeimbangi kegiatan antara kuliah, organisasi, dan kehidupan sosial; kuliah harus tetep mempertahankan nilai, ngurus di dua organisasi, dan meluangkan waktu untuk main sama temen-temen. Saya akui itu memang nggak gampang, energi banyak terkuras, tapi beruntung saya selalu enjoy ngejalaninnya.

Masih di semester 3, saya punya pengalaman unik saat mengerjakan tugas matkul wawancara. Waktu itu hari Jumat, tumbenan pagi-pagi saya kebangun. Nggak begitu lama setelah bangun, saya ditelepon narasumber yang bersedia diwawancara. Epic-nya, beliau ada di Garut karena berprofesi sebagai guru TK di sana. Saya harus mengejar sebelum jam 12 untuk tiba di Garut dari Jatinangor!

Nggak pake acara mandi (cuma gosok gigi dan cuci muka), saya langsung berangkat naik motor dari Jatinangor ke Garut. Sempet khawatir terlambat sampai, tapi ternyata saya bisa sampai di sana sekitar jam 11 siang. Beruntung ibunya baik banget, bahan wawancara tentang disertasinya dikasih lengkap, bahkan saat pulang dikasih kue sekotak. Dalam perjalanan menuju Nangor cuma bisa cengar-cengir karena senang bisa mendapat bahan tugas lengkap dan narasumbernya baik banget!

Di semester 5, saya mulai struggling mengerjakan tugas penulisan feature dan produksi feature TV. Untuk feature TV, kelompok saya sampe bela-belain bolak-balik Nangor-Pangalengan untuk liputan lho! Bahkan saat baru mau memasukkan surat perizinan ke pihak KPBS, saya, Petek, Che, Ulum, dan Tyo sampe bela-belain tidur di teras minimarket demi menyambangi kantornya pagi-pagi. Parahnya, Pangalengan berada di dataran tinggi, dan dinginnya ampun-ampunan!


Di feature buatan kami ini, kami mau menampilkan lokasi wisata dan keunikan dari Pangalengan. Lalu di akhir semester, liputan kami ini di-submit ke NET TV oleh dosen pengampu matkul, dan ternyata masuk ke segmen Citizen Journalism di program beritanya! Pengalaman nyaris dikepret ekor sapi saat shooting pun ternyata berujung manis, hahaha.

Semester 5 berlalu, masuklah di semester 6. Semester ini terkenal paling hardcore karena ada mata kuliah praktik jurnalistik atau dikenal dengan produksi juju-an; produksi program berita TV, siaran radio, sampai bikin majalah. Kemudian dibarengi mata kuliah penulisan artikel dan tajuk rencana; tiap minggu para mahasiswa harus review 1 artikel per hari dari 1 koran selama satu semester penuh! Tiap minggu harus ada laporan mingguannya yang dikumpulkan tiap sesi perkuliahan. Belum lagi matkul lain yang tugasnya juga nggak sedikit.

B-a-y-a-n-g-k-a-n.

Saya satu kelompok dengan Petek, Tyo, Ulum, Rize, Ganda, Harith, Fitra, Ani, Indah, dan Vina. Kebetulan saya, Petek, Tyo, Ulum, dan Rize sudah satu kelompok dari zaman produksi feature TV saat semester 5. Nah produksi ini ibaratnya puncak-puncaknya segala materi kuliah yang udah kita dapat dari semester 3, dari wawancara, penulisan berita cetak, feature cetak/radio/TV, manajemen media, sampai perkembangan media baru.


Tenaga, pikiran, mental, materi, dan segala macem tercurahkan di semester 6 ini, terutama produksi juju-an. Begadang nonstop, liputan bolak-balik Bandung-Jatinangor, bahkan sempet ke Jakarta juga untuk wawancara satu narsum, sampai liputan di taman-taman dan event-event. Saya inget banget waktu itu malah flu berat saat mengejar deadline penyelesaian tugas jurnalistik televisi dan cetak, sampai-sampai saya ngablu begadangnya, hahaha. Tapi akhirnya berbuah manis untuk produksi jurnalistik cetak dan radio (kecuali TV sih, ada sesuatu di ending-nya yang... ergh).

Beres semester brutal itu, lanjut ke semester 7. Di sini ada yang namanya penulisan berita mendalam (PBM) alias indepth news yang tugas akhirnya dikerjakan berdua. Pas penulisan berita mendalam lumayan juga struggle-nya, mulai bolak-balik Jakarta-Nangor sehari demi ngejar narasumber di Duren Tiga, terus nyaris nggak bisa pulang karena nggak dapet Transjakarta; penuhnya edan-edanan! Ending-nya pun bikin ketar-ketir juga.

Mendekati deadline pengumpulan tugas akhir, saya dan Fitra di-PHP-in narasumber. Saya udah tunggu narsumnya di kampus eh bilangnya langsung pulang karena sakit, padahal sudah janjian dari jauh-jauh hari (Ehem, bilang aja nggak mau diwawancara, Pak). Topik indepth news kami memang cukup 'sensitif', yakni terkait isu UU ITE yang waktu itu lagi ramai-ramainya diberitakan dan banyak warga yang dilaporkan ke polisi menggunakan UU ini.

Grafik intensitas tugas dan ketegangan di semester ini bisa dikatakan berkurang, karena rata-rata matkulnya tidak banyak praktik ke lapangan. Tapi di semester ini sudah ada matkul seminar dan metode penelitian kualitatif, di mana saya sudah harus memikirkan skripsi. Hayoloh...

Di saat teman-teman di kampus lain sudah skripsian atau bahkan lulus, semester 7 saya masih ada mata kuliah yang harus dilalui DAN belum bisa magang atau job training. Barulah di semester 8 saya baru mulai magang, di dua media massa pula. Jadi di saat-saat seperti ini, saya cuma bisa tutup kuping kalau ada yang nanya, "Kapan lulus?", hahaha.

Saat magang, saya beruntung sekali bisa menjadi intern reporter di Kompas.com dan TvOne. Pengalamannya tentu amat berharga; apa yang sudah dipelajari di bangku kuliah dipraktikkan, tetapi harus juga menyesuaikan diri dengan realita di lapangan.

Lantas, apa yang bisa saya tarik hikmahnya dari menjadi mahasiswi jurnalistik?

Ratusan hari sudah dilalui.
Keluhan sudah tak terhitung.
Malam tanpa memejamkan mata sudah biasa.
Jatuh-bangun mengejar dosen dan narasumber apalagi, sudah kebal.

Tapi mengapa itu semua malah membuat saya menjadi bersemangat?

Maybe it's my call.

Saya rasa jalur ini memang cocok bagi saya: menjadi mahasiswi jurnalistik.

Kesimpulannya? Ajaib!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

To be honest, I'm not a big fan of electronic dance music. I prefer musics like funk, jazz, rock, or disco from the 70s and 80s. Nowadays I only like few of the electronic groups, such as Clean Bandit (they combine the dance music with classic instrument like violin & cello!), LION BABE, and this one, Disclosure!

I was disappointed when I couldn't watch Clean Bandit live in Jakarta. They came to Jakarta last December 2015. Too bad at that time I couldn't afford the ticket (geez, the ticket for concert nowadays is getting more expensive!), but when I heard Disclosure would come to Jakarta for the second time, I had no doubt about it!

After working on some projects, finally I could buy myself a ticket to watch Disclosure. It also became a refreshment for me in the middle of working on my thesis. Well I heard about the announcement since last April. I thought it was the part of April Fool's joke since I knew it on April 1st. Even people on the internet also didn't believe it. I checked on Disclosure's official website, there's no schedule in Jakarta; mostly in US and other cities on May. Anyway, I saw there's pretty big gap between their gigs on last April to middle May. Hmm, I guessed they could be playing in my city among the dates.

Not so long after that, I read a comment on Disclosure's Instagram telling fans to check out their blog post. There it was, the official announcement of them coming to Jakarta! I was so excited. I wouldn't miss any chance to watch my favorite musicians.

They only played on DJ set, they didn't do the exact full performance. At first I was like, "Huh? Okay..." but I didn't mind! It's a rare occasion that they can play in Jakarta. I also know they'll play in Bali next August, but Jakarta is much closer. Of course I really want to see their real live performance like what I see on Youtube. Seeing Howard & Guy Lawrence playing on full set is amazing! It would be much greater if Sam Smith, Lorde, Gregory Porter, LION BABE, and Brendan Reilly perform with them, LOL.

The day was coming!

I watched Disclosure with my friend Petek, since she also liked them. We went from Bandung to Jakarta on May 4th, which was the date of the event. I thought it was okay if we went at 3 pm to Jakarta with estimated arrival time at 6 pm. Guess what? I was totally wrong. On 5 and 6 May there were two public holidays, which provided us 2 extra days for weekend; our weekend started from Wednesday night! Since we went to Jakarta after work hours, the traffic jam was insane! We arrived at 8 pm on Tanjung Priok Bus Station as the result. Then we took Gojek to go to Ecovention at Ancol, North Jakarta.

This event was held by DGTL_LVE. Besides Disclosure as the main guest star, there were also other famous DJs like Tchami from France, Dipha Barus and Bima G from Indonesia. Too bad I haven't heard their songs, except Tchami. I only listened to one of his song, so I couldn't review their performance since I didn't know much about them. Sorry!

The first performance was Bima G, followed by Dipha Barus then Tchami. I could say Tchami was awesome, even though I didn't really know his music. Many people cheered when he came and played for the next 1,5 hours.


HERE THEY ARE!

I was soooo excited seeing them in real life. I was lucky enough to stand really close to the DJ booth because I could see the performers better or at least I could breath properly here. When I saw what was going on behind me, wow it was so freaking crowded! All the audiences tried to be closer to the stage, and of course we only had small space to move there. They began their performance with their famous "When A Fire Starts to Burn", and the crowd instantly danced!

They played some songs that possibly not included in their albums but I recognized one, it was "Jump Hi" by LION BABE. I was so happy since LION BABE also a great electronic music group. After that, they played "Voices" and "F For You"! Yeah!! They remixed both of songs and they were so goooood.

After few songs, I noticed the very specific voice of Gregory Porter... They were starting to play "Holding On"!! It was SO GREAT! They played the original song, which was all I hoped that night because I could sing along! "Holding On" is one of my favorite songs in their latest album, Caracal.


Other songs were coming, they kept making the crowd dancing through the night. I remembered that Disclosure started to play at 1.30 am. It was so late but it didn't matter, though. Then they played more songs like "White Noise" and "Magnets". For the last song, the played "Latch"!!


Did they just end the night? Nope! After people chanted "We want more!", they didn't hesitate to play one more song. As the encore, "You & Me" was played by the Lawrence brothers. The special thing was, they played the remix version of You & Me by Flume. That version was totally dope. You can listen to the song here.

Overall I was so happy to watch Disclosure even though they only played on DJ set. The sound was amazing, the visualizations on every songs they played were super cool, and of course their performance were totally incredible. I hoped they could play Omen and January that night, but well they didn't. Maybe next time? I really wish I can watch them one more time, especially when they do live performance.

By the way, thank you to DGTL_LVE for bringing Disclosure to Jakarta!


Share
Tweet
Pin
Share
1 comments

Howdy!

April is almost done and I still haven't finished my thesis yet.

No, I am not complaining nor blaming myself.

Since couple months ago, I did an internship as a content writer for a local newspaper in Bandung. It really enriched my experiences as a writer since there're major differences between content writer and journalist. It has ended and now I am ready to work on my thesis again. Well actually I had an idea that I could finish my thesis during my internship, but apparently my target wasn't accomplished. Plus, since the beginning of April I left my dorm in Jatinangor and now I am staying temporarily with my grandpa in Cijerah, Bandung.

Another fun thing that happened since January: my project with Petek called Verlast has been going so well. We had some clients and we couldn't be happier because we really love what we're doing! We did an engagement & wedding projects (I did the photo shoot and Petek did the make up), also a portrait photo shoot with one of our friend.

By the way, I have an ambition that I can finish chapter 4 in one week. I have interviewed Tempo, a national weekly news magazine as my object of research, especially for the cover. Yeah, my thesis is about one of their covers and I analyze it using semiotics method. So, my data should be better and I could continue completing chapter 4 before I jump into the next chapter; which is the last part!

I wish I can really do this. My current plan is I can finish my thesis this May then register for the thesis defense. I totally want to graduate very soon so I can start my long vacation, LOL! *Okay I must confess that I'm already planning a trip to somewhere and I'm so excited about it!*


Wish me luck!!!

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

One thing you should do during your vacation: If you have chance to sleep, just go to sleep. Don't stay up late especially if you have long plan ahead. No matter how exciting your trip is, you always need time to rest so you can be ready for another trip on the next day. Don't do something ridiculous like me.

Since the previous day we woke up late, I was afraid that the next plan wouldn't go well as we hoped. So instead of sleeping, I decided to stay up late. I was tired, but I couldn't sleep. Maybe I was haunted by feeling that we could fail our plan again. I didn't swallow any energy booster like coffee (I don't drink coffee) or energy drink; I relied on myself that I could stay awake during the day.

The worse part for me, today was the day we visited some beaches in South Kuta and Uluwatu. Then, I was the only one who could ride motorcycle.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Here we go, the second day we stayed in Bali. Day 2 was started with.... nothing. We woke up late so we had to cancel our plan to go to Sanur Beach that morning. Sanur is well-known for sunrise spot, so it must be very amusing if we can see the sun rises there. Well we just moved on and did other plan that we've made. First we had lunch at "Nasi Pedas Bu Andika". This place is pretty popular among tourists. On my previous trip to Bali I have never heard it before, so this was our first visit to that food tenant.

Done with lunch, we went to Motel Mexicola. I browsed about this place on internet and I think this cafe has unique theme. When I heard it for the first time I thought it was a motel, but apparently I was wrong. I wasn't familiar with Mexican food but this first try should be interesting.

The cafe is located at Seminyak. From Kuta to Seminyak actually it wasn't too close, also wasn't too far. I just felt that riding motorcycle in Bali wasn't too tiring like when I was in Bandung or Jakarta. We spent about 15 minutes ride to reach Seminyak, and thankfully it hadn't been too crowded since we arrived still in the afternoon. At first I was confused to find where Motel Mexicola was. I had to find small alley, then finally we made it.


When we were going to enter Motel Mexicola, a waitress welcomed us. She also informed that the minimum order for each person was IDR 100K. Well I didn't know about this when I searched any reviews about this place, but it didn't matter. So both of us chose the bar stalls area to sit. The sofa spots weren't in use because they're available in evening.




The menu was indubitably dominated by Mexican foods. For drinks, I remembered there're lots of mojito, mocktail, beer, and soda. We ordered mocktails first, also a plate of chicken taco for me. I couldn't give any comment about taste since I never tried any Mexican Food before. All I could say, there was a hint of sour from the chicken. The sauce also tasted a bit sour and spicy.

By the way I really like the concept of this place. It was so colorful, all the ornaments and painting were unique. The Mexican vibe was so strong. No wonder many people come here to take photos or just enjoy the surrounding.




After spending 2 to 3 hours at Motel Mexicola, we decided to visit the closest beach from there. The security officer kindly told us there's Petitenget Beach, only 5 minutes by walking. Thanks to him, we could leave our motorcycle for a while to take a look to that beach. When we arrived, it was so crowded. Finally we went back to Motel Mexicola to take our rented motorcycle, then we tried to visit other beach.

Well, we were totally relying on Google. We searched the nearest beach in Seminyak, then we saw Berawa Beach. It wasn't too far from where we were. This beach was not too crowded and of course, we were spending time watching sun set there. Some were strolling around with their pets, some were surfing at the beach.




We stayed at Berawa Beach until the sky was dark enough. The location was easy to reach, FYI. After that, we tried to go to Sindhu Market at Sanur to have dinner. You know, Seminyak to Sanur was far. It was like you rode from west to east; from edge to another edge. It took 45 minutes, but thankfully we didn't meet any traffic jam here.

After the long ride to Sanur and having dinner there, we wanted to go back to hotel. I didn't realize that we were going to run out of gasoline. I forgot to buy it. So, in the middle of Ngurah Rai Bypass (it was pretty close from our hotel!), the motorcycle was suddenly stopped working! Of course we were panic. There's irony here; across the road, there was a gas station!

We were confused at first, how to push our motorcycle to the gas station since the middle road was blocked. We thought we just emptied our mineral water bottle then walked across the road to buy gasoline, but we're too afraid to cross the road because a lot of vehicles passed in a hurry. The road was also quite dark.

Maybe I could say this was a miracle. There was a man with his motorcycle who also ran out of gasoline. That man talked to us, then Petek replied him. They talked in Javanese (too bad I didn't understand), saying that his friends were on the gas stasion to buy him gasoline. Then he kindly called his friend to buy additional gasoline. Too bad, when his friends came, they just bought around 1,5 Liter of gasoline; which meant only for 1 motorcycle.

You know what? He offered his gasoline to us, he said his friend could go back to gas station once more. We were so thrilled, he was very kind to us. Then we paid to that man for the gasoline & added extra money, but he refused it at first! Wow. We forced him since we had to pay it, and finally he accepted it.

We went back to hotel with full of joy, even though we just had an incident. We couldn't imagine if we hadn't met him on our way back to hotel. His kindness really helped us through our difficult situation. For whoever you are sir, respect!

Our trip in Bali was getting more exciting. Tomorrow would be a very very long trip. Where were we going?
Check out the next part of my post!

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Saya mau cerita tentang acara jalan-jalan saya Desember silam ke sebuah tempat wisata yang baru dibuka. Lokasinya kalau bisa dibilang masih nyerempet dikit dari Setiabudi tapi udah ke arah Lembang gitu. Namanya Farmhouse Lembang.

Saya penasaran soalnya waktu itu sering banget liat di Instagram. Tempatnya lucu, ibarat kata zaman sekarang mah tempatnya instagramable banget. Karena semakin penasaran dan pengen jalan-jalan juga (mumpung dapet pinjeman motor), akhirnya saya berangkat bareng Petek.

Waktu itu saya berangkat tanggal 22 Desember 2015, hari Selasa. Weekday tuh jatuhnya, ngarep-ngarepnya sih nggak bakal sepadat pas weekend. Sebelum berangkat saya berusaha untuk optimis tempatnya bakal sepi pengunjung. Tapi saya juga baru ngeh kalau itu udah mau akhir tahun dan mendekati libur Natal dan Tahun Baru. Tapi ya namanya udah pengen jalan-jalan, liat situasi di tempat deh.

Di jalan menuju Farmhouse, terbukti kita mulai tersendat di depan kampus UPI. Untungnya bawa motor bisa nyelip, tapi tangan kiri pegelnya ampun-ampunan karena bawa motor Vixion yang notabene pakai kopling. Sempet lewat jalan pintas, akhirnya kita nyampe di deket Farmhouse. Oke, padat banget yang mau ke arah Lembang. Saya sempet sengaja ngelewatin Farmhouse karena jalur untuk masuk ditutupi semacam tali pembatas gitu, karena posisi dari sebelah kiri dan Farmhouse berada di sisi kanan dari arah Setiabudi. Eh pas muter balik, tetiba udah dibuka lagi. Masuklah kami ke dalam area Farmhouse.

Untuk tiket masuk, dikenakan 20 ribu Rupiah per orangnya. Tapi tiket masuk ini bisa ditukar sama susu murni rasa vanilla atau stroberi lho. Lumayan kan sambil jalan-jalan di dalam, saya bisa sembari minum susu murni. Rasanya enak lho yang stroberi.



Areanya ternyata nggak begitu besar. Lalu prediksi saya ternyata salah total. Tempatnya... rame banget. Parah sih ramenya, celah buat jalan aja kecil banget. Oh iya, untuk masuk ke area Farmhouse setelah ambil susu murni, ada flow-nya. Pertama kita bakal ngelewatin lorong yang diarahin ke sebuah rumah besar. Rumah itu isinya berbagai macam pernak-pernik, pakaian, asesoris, dan lainnya bagi yang mau berbelanja. Toko roti juga ada di dalam rumah. 





Setelah itu, kami keluar dan barulah melihat area rumah-rumah bergaya Eropa. The European vibe is so strong in this place.




Pastinya di depan rumah-rumah itu cocok banget buat berfoto. Sepengamatan saya, di sana rumah-rumahnya berisi restoran dan cafe. Ada juga rumah yang jadi tempat sewa baju ala Eropa, lebih tepatnya di lantai 2. Jadi bagi yang mau sewa baju, coba naik ke lantai atas cafe yang tembok bangunannya dari bebatuan.





Setelah itu, di area belakang saya menjumpai sebuah lapangan hijau yang cukup besar. Di sana dipajang beberapa sepeda sebagai properti yang bisa dipakai kalau mau berfoto ria. Nah di spot ini juga oke untuk foto, khususnya dengan latar rumah Eropa dari kejauhan. Asli, kesannya memang nggak seperti di Bandung lho. Nuansa Eropanya juga terasa banget di sini. Selain lapangan, kalau mau duduk-duduk lucu bisa juga menempati bangku taman yang tersedia di sekeliling lapangan.



Nah setelah puas-puasin motret di lapangan ini, saya dan Petek melanjutkan tur mini di Farmhouse. Kami berjalan turun dari lokasi sebelumnya, lalu menemui area small zoo dan miniatur rumah Hobbit. Small zoo ini memelihara kelinci, aneka burung, kuda poni, domba, sampai reptil. Anak-anak pastinya senang kalau dibawa ke sini.




Lalu yang jadi spot favorit para pengunjung adalah miniatur rumah Hobbit. Kelihatannya memang mirip kok, apalagi pintu bulat khasnya. Untuk foto di depan rumah ini, orang-orang sampe ngantri lho.




Setelah puas keliling, saya dan Petek berjalan keluar melewati rumah yang pertama dilewati. Kami baru sadar kalau sebelum rumah itu, ada rumah kecil di sisi kiri yang ternyata jadi jalur menuju taman lainnya. Rumah kecil itu menjual aneka pernak-pernik, khususnya gembok kecil. Nah gembok ini kebanyakan dibeli untuk dipasang di sebuah jembatan nggak jauh dari tempat itu. Bagi para pasangan pastinya gatel pengen beli dan pasang gembok yang sudah diberi nama masing-masing.

Di sana juga cocok untuk foto-foto, namun areanya lebih kecil dan jalannya lebih sempit. Untuk bisa foto-foto di atas jembatan, seenggaknya 2 sampai 3 pengunjung bisa berdiri di sana dan harus bergantian.



So far jalan-jalan di Farmhouse cukup menyenangkan. Berhubung padat dan kecil tempatnya, jadi memang ruang gerak sedikit terbatas kalau lagi ramai. Tapi untuk konsep bisa dibilang oke, karena suasana Eropanya berasa banget. Kalau mau main ke sini, pastinya akan lebih santai kalau datang saat weekday. Farmhouse juga lumayan dekat dari Setiabudi jadi kalau ingin tempat wisata yang nggak begitu jauh, ini bisa jadi solusinya.

So, selamat liburan dan selamat jalan-jalan!
Share
Tweet
Pin
Share
1 comments

Untuk menjaga kesehatan rambut secara tepat memang perlu eksplorasi dan sangat bergantung pada tipe rambut. Dari dulu sampai sekarang saya masih mencari cara yang paling pas untuk merawat rambut supaya tetap sehat, nggak kusut, dan nggak kering. Pasalnya kalau udah kusut, saya udah kayak singa nggak sisiran beberapa minggu. Salah pilih produk juga bisa bikin rambut saya makin parah keringnya dan bahkan muncul objek-objek yang nggak diinginkan, kayak ketombe.

Di post sebelumnya, saya sudah menulis tentang cara-cara yang biasa saya lakukan untuk merawat rambut saya. Nah kali ini saya mau membagi apa saja produk yang dipakai, khususnya untuk rambut keriting yang sangat kering dan sudah diwarnai berkali-kali.

Rambut yang diwarnai otomatis jadi lebih rapuh, kering, dan mudah bercabang. Untuk mengurangi rambut bercabang, setiap habis mewarnai rambut atau tiga bulan sekali saya pergi ke salon untuk potong rambut. Alhamdulillah sampai saat ini saya sudah terhindar dari masalah rambut bercabang dan rapuh. Permasalahan utama saya saat ini adalah rambut kering, megar, dan kusut.


Berdasarkan pengalaman pribadi, ini dia produk-produk yang saya gunakan untuk merawat rambut keriting yang sudah diwarnai. Produk yang ditulis benar-benar sudah saya pakai dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan sehingga efeknya sudah saya bisa rasakan secara langsung.

Shampoo and Conditioner
Mane 'n Tail Herbal Gro Shampoo
[Alternative: Herbal Essence Hello Hydration (Moisture and Shine)]
Nggak gampang untuk mencari shampoo dan conditioner yang pas buat rambut saya. Kebanyakan bikin ketombean dan makin parah keringnya. Tahun lalu saya sempet potong rambut kependekan dan denger-denger kalau Mane 'n Tail itu bisa membantu mempercepat pertumbuhan rambut. Jadinya saya pakai deh, sekalian nyoba. Harganya memang menguras dompet, tapi menurut saya worth it banget. Lumayan membantu pertumbuhan rambut, lalu kondisi rambut saya lebih baik dan nggak sekering biasanya. Untuk conditioner, saya pakai conditioner-nya Herbal Essence. Barulah saat shampoo Mane 'n Tail habis, saya pakai shampoo-nya Herbal Essence. Efeknya? Saya merasa rambut lebih lembab, nggak begitu kering, dan lebih mudah diatur.

Hair Vitamin
Lucido-L for Damaged Hair (Spray and Oil)
Saya pakai kedua versinya, yaitu spray dan oil. Versi oil saya pakai setiap habis keramas dan rambut dalam kondisi setengah basah. Lalu versi spray saya pakai setiap hari, baik saat mau pergi atau pun stay di kostan. Ini sangat membantu merawat rambut saya yang diwarnai supaya nggak bercabang, kusam, dan kering parah. Makanya saya berani bleach rambut karena sudah memproteksinya dengan hair vitamin sejak lama, jadi efek bleach-nya nggak begitu parah.

Other Hair Spray
Makarizo Hair Energy SCENTSATIONS
Yang namanya bau nggak bisa dihindari ya, apalagi kalau sering berpergian. Bau segala macem kayak asap knalpot, asap tukang sate, dan kerabatnya bisa terperangkap di rambut. Apalagi kalau rambut keriting, aduh bener deh segala macam bau langsung diserap dan hilangnya pun cukup lama. Makanya saya butuh hair spray yang bisa menghilangkan bau seketika. Kalau lupa keramas juga bisa diakalin pakai ini kok (yikes!), hahaha.

Hair Cream or Mousse
SYOSS Airy Curl Cream (Curl Control)
Produk ini penting untuk menjaga bentuk keriting dan mencegah rambut jadi megar. Saya pakai ini karena dari beberapa produk lainnya, ini yang nggak begitu lengket dan nggak berasa berat di rambut. Jadi setelah pakai vitamin oil, saya pakai cream ini biar bentuk keriting bisa terjaga seharian. Tapi saya punya cara sendiri untuk menggunakan cream ini agar nggak terlalu kaku dan bisa lebih hemat.
Aslinya cream ini cukup kental dan lumayan lengket di tangan. Untuk mengakalinya, saya masukkan cream ini ke dalam botol spray lalu ditambahkan air, dan kocok sampai rata. Hasilnya, cream ini nggak akan lengket di tangan, rambut bisa mirip-mirip  wet look dan nggak kaku kayak pakai hair spray, serta menghemat jumlah pemakaian. Saya udah pakai selama 6 bulan dan belum habis-habis lho, mengingat harga satu jar-nya nggak begitu murah (maklum anak kostan, hahaha).

Kira-kira itu yang bisa saya share terkait perawatan untuk rambut keriting yang sudah diwarnai. Harap diperhatikan bahwa cara merawat rambut bisa beragam bagi setiap orang. Produk digunakan juga sangat bergantung pada si pemakai alias cocok-cocokan. Intinya sih jangan nyerah dulu sebelum menemukan treatment dan produk yang pas.

Even though maintaining curly hair is so challenging, remember, you have something that others don't. So take care of it and you'll thank yourself! Adios muchacha!
Share
Tweet
Pin
Share
5 comments
Punya rambut keriting itu berkah sekaligus sebuah tantangan. Nothing beats its uniqueness, tapi rambut keriting itu harus dirawat banget karena kondisi sebenarnya cukup fragile. Ya bisa dilihat kalau rambut saya ini kelihatannya megar, kering, dan tebal. Padahal sebenarnya rambut saya tipis, lho. Megar dan tebal itu hanya efek dari bentuk keriting yang ngembang.

Kebetulan rambut saya jadi keriting semenjak kelas 5 SD sampai sekarang (ceritanya di sini). Zaman SMP, saya nyoba pakai conditioner nggak dibilas (yang seharusnya dibilas, bukan yang leave on). Tapi ending-nya saya nyerah. Saya nggak kuat sama lembabnya si conditioner yang nggak dibilas karena bikin gerah dan lengket. Jadi jangan coba pakai conditioner yang harusnya dibilas malah dibiarin ya. Asli, nggak enak banget rasanya di kepala.

Kemudian ketika duduk di bangku SMA, saya masih belum nemu produk yang cocok untuk menaklukkan rambut saya. Akhirnya saat memasuki zaman kuliah, saya mulai bereksplorasi dengan beragam cara dan bermacam produk demi ngempesin rambut megar.

Intinya saya ingin mencoba membagi cara yang saya gunakan untuk menaklukan rambut keriting yang kusut, megar, dan kering. Sebelumnya saya sempat googling tetapi rata-rata kebanyakan orang luar yang rambutnya keriting itu tipe 4 yang keritingnya udah kecil-kecil banget dan mendekati kribo. Ada juga yang tipe 3 (kebetulan saya tipe 3A), tapi sayangnya produk yang mereka gunakan kebanyakan tidak dijual di Indonesia. Sementara itu dari situs lokal, saya belum menemukan cara yang pas untuk saya coba.


By the way, silakan baca tentang tipe rambut keriting di sini dan di sini kalau belum tahu tipe rambut mana yang dimiliki.

Mungkin akan ada beberapa cara yang mungkin bikin dahi mengerenyit alias terkesan aneh, but somehow it works on me.

Jarang Sisir Rambut
Semakin sering nyisir, rambut makin megar. Rambut keriting kalau disisir malah pecah keritingnya; bentuk asli keriting bakal rusak, rambut jadi nggak menyatu, dan ujung-ujungnya makin berantakan. Makanya saya sisiran kalau mau keramas saja dan setelah keramas untuk merapikan rambut yang kusut.
Selebihnya? Saya nggak sisiran lagi pakai sisir biasa. Kalau rambut mulai kusut, saya biasanya sisir pakai jari. Cara itu akan lebih menjaga bentuk keriting dan meminimalisasi megar. Kalau ada yang malas pakai jari, bisa juga pakai sisir garpu yang giginya jarang-jarang.

Keramas Seminggu Dua Kali
Well bagi yang sangat higienis dan harus keramas tiap hari, mungkin cara ini bisa dilewatkan. Tapi saya merasakan dampak lebih baik pada rambut dari jarang keramas ketimbang frekuensi yang terlalu sering. Berdasarkan beberapa situs yang saya baca, kalau terlalu sering keramas, minyak alami di rambut akan hilang dan itu akan menyebabkan rambut jadi semakin kering. Saya sepakat karena kenyataannya sehabis keramas itu rambut justru lebih kering walaupun rasanya lebih lembut dan ringan.
Kalau memang perlu banget ngebasahin rambut, nggak perlu pakai shampoo-nya. Cukup gunakan conditioner. Ini sering banget saya lakuin, karena rambut keriting itu kuncinya adalah kelembaban. Kalau kering, it's such a disaster. Stok conditioner saya pasti paling cepat habis dibanding shampoo, karena conditioner lah yang lebih penting daripada shampoo; bikin rambut saya lebih halus dan lembab tanpa jadi lebih kering.

Avoid Hair Dryer
Saya kebetulan jarang sekali pakai hair dryer karena bakal memperparah kondisi rambut; jadi kering banget dan tambah megar. Ada pula yang menyarankan pakai difusser, tapi ya itu kan belum tentu punya atau mudah didapat. Jadinya saya memilih cara alami saja, yaitu dibiarkan kering sendiri. Kalau mau lebih cepat, tinggal duduk atau berdiri di depan kipas angin. Cara ini bisa menjaga bentuk asli keritingnya. Bahkan menurut saya, rambut keriting yang baru kering itu bisa dibilang 'curl at its finest'. Bentuknya masih asli, rambut masih berasa ringan banget, dan nggak megar.
Ada lagi cara yang oke untuk ngeringin rambut, yaitu 'dibungkus' pakai kaos. Saya pernah coba saat keramas malam hari; setelah dikeringkan pakai handuk, saya balut rambut pakai kaos. Hasilnya? Ternyata rambut saya jadi lebih terjaga bentuk keritingnya dan nggak berasa kasar. Tips ini saya dapat dari beberapa situs terkait rambut keriting.

Colored Curly Hair = Extra Maintenance!
Dari 2013, saya sudah mulai coba-coba mewarnai rambut. Saya kepengen punya warna rambut ash yang undertone-nya biru, bukan coklat kemerah-merahan (ini saya sebel banget). Apalagi, Agustus 2015 saya mem-bleach rambut bagian dalam sebanyak tiga kali karena ingin saya timpa warna abu-abu atau biru. Alhasil semakin sering saya cat rambut, semakin rusak pula rambut saya.

Kira-kira itu cara yang biasa saya lakukan untuk merawat rambut keriting yang kering dan mudah kusut. Di postingan berikutnya, saya mau menceritakan tentang produk-produk rambut yang biasa saya pakai untuk mengatasi masalah serupa, khususnya rambut keriting yang sudah diwarnai berkali-kali.

Adios and see you on the next post!


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

11 Oktober 2014
Kakunodatemachi Nishinagano, Senboku, Prefektur Akita

Pagi hari, saya bersama teman-teman menyempatkan diri untuk jalan-jalan di sekitar rumah okā-san. Lagi-lagi saya speechless ngeliat suasana di sekitar rumah okā-san; luas banget dan bener-bener asri! Foto di atas terletak di belakang rumah dan di sana hanya ada bukit plus pepohonan yang cukup banyak. Dari sini akan tembus menuju rumah kayu yang berada di atas bukit (rumah kayu yang kami sambangi sore kemarin).

Nah, habis mengelilingi kawasan rumah oka-san, kami diajak jalan-jalan nih sama okā-san. Wah diajak pergi ke mana ya?

Pertama, kami diajak makan sushi! 


Saya pribadi suka banget makan sushi, dan penasaran pengen ngerasain makan di kedai sushi langsung di Jepang, hehehe. Kami berenam lalu dibawa ke sebuah kedai sushi (saya nggak inget persis di mana, tapi kalau nggak salah deket mall-nya Akita deh). Karena tempat duduknya terbatas, kami akhirya terpecah ke dua 'kubu'. Saya duduk bersama okā-san dan Arina. Nah di sini saya mencoba untuk ngobrol sama okā-san.

Saat mau milih menu sushi, saya sempet nanya ke okā-san, "Kore wa nan desuka?" Lalu dibalas dengan kalimat yang saya nggak pahami, hahaha. Tapi untungnya oka-san masih menjelaskan dengan gerak tubuh dan setidaknya saya masih paham dengan maksud okā-san. Sambil ngobrol, sambil makan sushi. Nggak berasa kami bertiga aja udah menghabiskan sekitar 18 piring! Temen-temen lain yang duduk di seberang langsung kaget karena tumpukan piringnya tinggi banget.

Nah di sini saya juga merasakan pengalaman yang berbeda terkait makan di kedai sushi. Di sini, orang Jepang memakan sushi nggak pakai sumpit, tapi langsung pakai tangan. Lalu kalau untuk penggunaan kecap asin, wasabi, dan bubuk cabai harus benar-benar terpakai semua; jangan sampai tersisa. 

Pelayanan di kedai ini juga unik lho. Nggak ada yang namanya waitress di sini; pesan sushi tinggal pilih di layar sentuh yang ada di tiap meja. Kalau sudah memilih, ada opsi apakah mau pakai wasabi di dalam sushi-nya atau nggak. Setelah itu, nunggu pesanan, sushi kemudian datang diantar oleh kereta mini! Nah, ada lagi nih, kalau di Indonesia saya seringnya minum ocha sudah jadi. Kalau di sini, ocha dibuat sendiri oleh konsumen. Bubuk teh hijau (ocha) sudah tersedia, lalu di meja ada keran air panas untuk menyeduh ocha.

Beres makan sushi, kami nggak langsung pulang. Sekarang kami mau berbelanja di swalayan, karena belanja karena malam ini kami berenam akan masak makanan khas Indonesia untuk okā-san dan otō-san!

Belanja sudah selesai, kami kembali ke rumah oka-san. Namun sebelumnya kami mampir ke sebuah toko perkakas yang cukup besar di sana karena okā-san harus membeli titipan otō-san. Setibanya di rumah, kami pun bersantai sejenak sebelum memulai masak. Rencananya, kami akan memasak salah satu makanan yakni sayur sop (Sisanya saya lupa, I'm so sorry!).

Dari sore sampai menjelang malam kami sibuk memasak karena masakan kami akan disajikan untuk makan malam. Semuanya dipersiapkan, dan kami menikmati waktu yang sangat menyenangkan bersama okā-san dan otō-san.

Setelah acara makan malam usai, kami berenam beberes meja makan dan dapur. Lalu saya baru sadar di sana ada CD tape di dekat dapur, dan di dalamnya ada CD The Carpenters.

[Play]

Mengalunlah lagu "(They Long to Be) Close to You", yang sangat berkesan bagi saya. Sambil duduk di kursi goyang, mendengarkan di malam terakhir kami menginap di rumah okā-san dan otō-san...

Why do birds suddenly appear, every time you are near?
Just like me, they long to be close to you.
Why do stars fall down from the sky, every time you walk by?
Just like me, they long to be close to you...



12 Oktober 2014
Kakunodatemachi Nishinagano, Senboku, Prefektur Akita

Pagi kembali tiba, kami harus dihadapi kenyataan bahwa kami akan meninggalkan rumah okā-san dan otō-san. Sebelumnya saya sempat jalan-jalan bersama Cynthia dan Rie ke rumah kayu satu lagi yang berada di depan rumah okā-san dan otō-san (dari posisi saya memotret foto di atas, masih harus naik bukit lagi).

Packing, check! Sarapan, check!

Saatnya berhadapan salah satu momen yang cukup membuat kami sedih: berpisah dengan okā-san, karena ia tidak bisa ikut mengantar kami ke tempat berkumpul seluruh peserta JENESYS. Kami akan pergi bersama otō-san. Tentunya kami nggak lupa untuk berfoto bersama sebelum berangkat.




Saya bersama okā-san dan otō-san serta anjing peliharaan mereka, Hana. Hana lucu banget, untungnya anjing ras Shiba ini nggak galak, hahaha. (PS: saya sebenarnya deg-degan banget deket-deket sama Hana, karena takut banget sama anjing!)

Kami kemudian bergegas menuju lokasi titik kumpul seluruh peserta JENESYS, yakni di Grandeaile Garden. Di sini kami akan makan siang sekaligus menyelenggarakan farewell party dengan seluruh keluarga homestay yang terlibat.

Suasananya sangat ramai, karena sepenglihatan saya setiap peserta sudah sangat dekat dengan keluarga angkatnya. Bahkan ada sesi semua peserta dan keluarga homestay nari bersama diiringi lagu khas Indonesia dan itu bener-bener seru lho! Nggak ketinggalan pula, salah satu keluarga dari Jepang juga memberikan persembahan berupa tarian sebelum acara ditutup.



Nah, ini nih, salah satu momen yang tadinya ceria banget langsung berubah drastis. Saatnya seluruh keluarga angkat berpamitan dan kembali ke rumah. Kebanyakan pada terharu, tapi ada juga yang nggak bisa membendung air matanya. Jujur saya sama temen-temen awalnya berusaha untuk tegar *halah*, eeeh tapi kalo otak sama perasaan lagi nggak sinkron, udah deh reaksi tubuh nggak bisa dibohongin. Mata saya berkaca-kaca sampai nggak sanggup liat otō-san, soalnya otō-san udah mau pulang...

"Arigatou gozaimasu!"

Saya bersama teman-teman membungkukkan badan (sambil menyembunyikan mata yang udah berkaca-kaca, hehe), sangat berterima kasih atas kekeluargaan dan keramahan yang kami dapat bersama otō-san dan oka-san di waktu yang sangat singkat tersebut. Walaupun baru kenal dua hari, tapi rasanya berat banget untuk berpisah dengan mereka. But the program must go on, right?



Semua keluarga homestay sudah pulang, kami pun melanjutkan program yang harus diikuti. Lalu kami akan menginap di Highland Hotel Shunjuan Sanso untuk stay selama semalam sebelum kembali ke Tokyo pagi harinya. Tetapi yang paling penting, di sini kami menggodok project akhir kelompok yang akan dipresentasikan esok hari di Tokyo.

Pastinya project ini harus dipersiapkan dengan matang karena akan dipresentasikan di hadapan para pejabat JICE selaku penyelenggara program ini. Kelompok saya waktu itu akhirnya memutuskan membuat video sekaligus speech yang menjelaskan tentang hasil kegiatan, pengetahuan, dan temuan lainnya yang diperoleh selama beberapa hari sebelumnya.

Proses brainstorming ide dari 25 orang di dalam satu kelompok ini memang nggak gampang. Output project bisa ditentukan dengan mudah, tapi menentukan apa kontennya yang butuh proses panjang. Sebenarnya separuh dari konten sudah dibahas saat masih menginap di Akita, tetapi di sini lah saatnya mematangkan konsepnya.

Usai makan malam sekitar pukul 7, ruang meeting yang sebelumnya kami gunakan ternyata tidak bisa dipakai lagi. Akhirnya kami pindah ke lobby hotel untuk mengerjakan video beserta konten speech-nya. Saya inget banget, kami mengerjakan project ini sampai pukul 2 pagi. Itu sampai lampu lobby dimatiin semua sama stafnya. Akhirnya kami ngerjain sambil gelap-gelapan, mana waktu itu saya yang bikin video-nya; mata rasanya jureng banget ngeliat monitor laptop berjam-jam, plus suasana lobby yang gelap.

Intermezzo: Saya bisa makin banyak ngobrol dengan teman-teman sekelompok sambil mengerjakan project akhir. Sambil cerita, sambil beresin project.

Lalu saat saya istirahat sebentar, iseng-iseng ke luar di depan lobby hotel; d-i-n-g-i-n banget! Kalau nggak salah itu suhunya 8 derajat Celcius. Makin malam memang makin dingin, apalagi Akita lokasinya udah di bumi belahan utara.

Mata sudah lelah, badan pun sudah rentek. Kami yang tersisa akhirnya bisa istirahat setelah project selesai. Bisa dibilang kami hanya punya waktu 4 jam untuk tidur karena pagi-pagi sudah harus bangun untuk bersiap kembali ke Tokyo...


13 Oktober 2014
Tazawako Station, Prefektur Akita

Sekitar pukul delapan pagi, cuaca tampak mendung. Ternyata berdasarkan ramalan cuaca, hari ini cuacanya kurang bagus. Saya mulanya mendengar hanya terjadi di Tokyo, tetapi ternyata Akita juga demikian. Saat kami berada di Stasiun Tazawako untuk menaiki shinkansen menuju Tokyo, anginnya berhembus sangat kencang. Awannya pun sangat gelap. Saya khawatir di Tokyo nanti akan lebih parah...


Setibanya di Stasiun Tokyo, suasana gelap dan mendung sangat mendominasi. Bahkan sudah mulai turun hujan. Saya bersama rombongan lalu berjalan kaki dari stasiun menuju tempat parkir bus untuk menyambangi lokasi berikutnya.

Tokyo Fashion Town Building pun menjadi lokasi kami mempresentasikan project akhir sebelum menyelesaikan program JENESYS 2.0 Mass Media and Broadcasting Batch 4. Arsitektur gedungnya modern sekali. Di sana kami makan siang dahulu sebelum memulai sesi presentasi.

Fyuh, saatnya presentasi! Giliran presentasi ditentukan berdasarkan urutan grup. Saya tergabung dalam grup C, jadi kami akan maju di urutan ketiga. Waktu itu yang mewakili kelompok kami untuk memberikan speech adalah Shella, Billy, dan Firdha. Saya kebetulan menjadi operator untuk menyiapkan video yang sudah dibuat.


Presentasi akhirnya selesai! Acara pun ditutup dengan pemberian sertifikat kepada perwakilan kelompok serta sepatah kata dari perwakilan JICE. Kami tentunya senang bukan main, karena project akhir kami sudah rampung. Tapi tentunya ini menjadi pertanda bagi kami bahwa waktu kami di Tokyo tinggal satu hari lagi.

Saya bersama grup C pun berfoto bersama dengan pendamping grup kami yang sangaaat baik, yaitu Kawanishi-san dan Kajiya-san. Banyak momen seru dan kocak bersama mereka, dan tentunya kami pasti bakal clueless kalau nggak ada bantuan dari mereka.

Sayangnya, setelah sesi ini, Kajiya-san (yang rambutnya pendek, berdiri di tengah) akan berpisah dengan kami karena tugasnya sudah selesai. Selebihnya kami akan didampingi oleh Kawanishi-san yang sudah menemani kami semenjak hari pertama bertemu di hotel.

Usai meninggalkan Tokyo Fashion Town Building, seluruh rombongan mampir ke Daiei Shinurayasu dan MONA Shinurayasu, dengan tujuan makan malam serta membeli kebutuhan yang mungkin diperlukan saat pulang ke Jakarta. Setelah itu kami kembali ke hotel awal kami menginap, yakni Tokyo Emion Bay Hotel. Kami akan menghabiskan satu malam di sana sebelum berangkat ke Bandara Narita besok pagi. 

Too bad, badai melanda Tokyo malam ini, jadinya kami nggak diperbolehkan untuk keluar hotel...



Last Day
14 Oktober 2014
Bandara Internasional Tokyo Narita, Prefektur Chiba

I'm going to miss those moments in Japan. I'm going to miss those places I've visited.
Tokyo, Yokohama, Akita, oka-san, otō-san, Kajiya-san, Kawanishi-san,
everything.

6 sampai 14 Oktober 2014 akan menjadi hari yang sangat saya ingat. Hari-hari saya akhirnya meraih salah satu impian saya untuk menjajakan kaki di Jepang. Tak terhitung berapa banyak pengalaman dan cerita baru yang saya peroleh selama berada di sana. 

I am so grateful. Tanpa perjuangan apapun pasti saya nggak bakal bisa mendapat pencapaian seperti ini. Saya amat berterima kasih kepada pihak-pihak yang sudah membantu selama menjalani program ini, mulai dari kampus, orangtua, kawan-kawan di kampus, staf Kemeninfo, panitia JENESYS 2.0, hingga teman-teman baru yang saya temui.

Semoga saya mendapat kesempatan lagi untuk menjelajahi Jepang lebih luas dan lebih mendalam.

Akita & Tokyo, you're always on my mind.




Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Older Posts

The Writer

The Writer

Categories

travel Trip Experiences thought photography Solo Travel Spain Study

Popular Posts

Instagram

@pspratiwi



Blog Archive

  • ▼  2019 (1)
    • ▼  October 2019 (1)
      • Accidentally Mixing Spanish & English!
  • ►  2018 (8)
    • ►  December 2018 (2)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  May 2018 (1)
    • ►  February 2018 (1)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (8)
    • ►  November 2017 (1)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  April 2017 (2)
    • ►  March 2017 (1)
    • ►  February 2017 (1)
  • ►  2016 (11)
    • ►  December 2016 (2)
    • ►  July 2016 (1)
    • ►  May 2016 (1)
    • ►  April 2016 (5)
    • ►  January 2016 (2)
  • ►  2015 (10)
    • ►  December 2015 (2)
    • ►  November 2015 (1)
    • ►  October 2015 (3)
    • ►  September 2015 (1)
    • ►  July 2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
  • ►  2014 (4)
    • ►  December 2014 (3)
    • ►  October 2014 (1)
  • ►  2013 (5)
    • ►  November 2013 (2)
    • ►  March 2013 (1)
    • ►  January 2013 (2)
  • ►  2012 (12)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (2)
    • ►  August 2012 (1)
    • ►  May 2012 (4)
    • ►  February 2012 (4)
  • ►  2011 (16)
    • ►  November 2011 (3)
    • ►  October 2011 (1)
    • ►  August 2011 (4)
    • ►  July 2011 (1)
    • ►  June 2011 (3)
    • ►  April 2011 (2)
    • ►  March 2011 (2)
  • ►  2010 (4)
    • ►  December 2010 (3)
    • ►  September 2010 (1)
  • ►  2009 (1)
    • ►  December 2009 (1)

Created with by ThemeXpose