• Home
  • About
  • Contact
Powered by Blogger.
facebook twitter instagram Email

Curlnology

Kalau mengingat-ingat lagi masa perkuliahan dari semester 3 sampai semester 7, rasanya itu... luar biasa, melelahkan, dan ajaib!!!

Semester 3 sampai semester 6 saya ngerasain yang namanya "berdarah-darah" ngerjain tugas; mulai dari tugas mingguan Abang Sahala, tugas wawancara, nulis straight news, nulis feature, nulis artikel, produksi jurnalistik (TV, majalah, dan radio), sampai berita mendalam.

Apalagi saat semester 3, saya dan teman-teman seangkatan harus melalui dulu yang namanya 'Orientasi Jurnalistik' (OJ) sebelum sah bergabung di Himpunan Mahasiswa Jurnalistik (HMJ). Semester 3 jadi salah satu semester berat, karena tugas bejubel plus dibarengi OJ yang waktunya bener-bener random.

Pastinya, selama kuliah liputan dan wawancara itu udah jadi kebiasaan. Baca majalah Tempo tiap minggu juga makin sering karena jadi tugas mingguan. Begadang, nggak mandi, ke kampus belum tidur pun jadi rutinitas sehari-hari. Ditambah lagi saya harus bisa menyeimbangi kegiatan antara kuliah, organisasi, dan kehidupan sosial; kuliah harus tetep mempertahankan nilai, ngurus di dua organisasi, dan meluangkan waktu untuk main sama temen-temen. Saya akui itu memang nggak gampang, energi banyak terkuras, tapi beruntung saya selalu enjoy ngejalaninnya.

Masih di semester 3, saya punya pengalaman unik saat mengerjakan tugas matkul wawancara. Waktu itu hari Jumat, tumbenan pagi-pagi saya kebangun. Nggak begitu lama setelah bangun, saya ditelepon narasumber yang bersedia diwawancara. Epic-nya, beliau ada di Garut karena berprofesi sebagai guru TK di sana. Saya harus mengejar sebelum jam 12 untuk tiba di Garut dari Jatinangor!

Nggak pake acara mandi (cuma gosok gigi dan cuci muka), saya langsung berangkat naik motor dari Jatinangor ke Garut. Sempet khawatir terlambat sampai, tapi ternyata saya bisa sampai di sana sekitar jam 11 siang. Beruntung ibunya baik banget, bahan wawancara tentang disertasinya dikasih lengkap, bahkan saat pulang dikasih kue sekotak. Dalam perjalanan menuju Nangor cuma bisa cengar-cengir karena senang bisa mendapat bahan tugas lengkap dan narasumbernya baik banget!

Di semester 5, saya mulai struggling mengerjakan tugas penulisan feature dan produksi feature TV. Untuk feature TV, kelompok saya sampe bela-belain bolak-balik Nangor-Pangalengan untuk liputan lho! Bahkan saat baru mau memasukkan surat perizinan ke pihak KPBS, saya, Petek, Che, Ulum, dan Tyo sampe bela-belain tidur di teras minimarket demi menyambangi kantornya pagi-pagi. Parahnya, Pangalengan berada di dataran tinggi, dan dinginnya ampun-ampunan!


Di feature buatan kami ini, kami mau menampilkan lokasi wisata dan keunikan dari Pangalengan. Lalu di akhir semester, liputan kami ini di-submit ke NET TV oleh dosen pengampu matkul, dan ternyata masuk ke segmen Citizen Journalism di program beritanya! Pengalaman nyaris dikepret ekor sapi saat shooting pun ternyata berujung manis, hahaha.

Semester 5 berlalu, masuklah di semester 6. Semester ini terkenal paling hardcore karena ada mata kuliah praktik jurnalistik atau dikenal dengan produksi juju-an; produksi program berita TV, siaran radio, sampai bikin majalah. Kemudian dibarengi mata kuliah penulisan artikel dan tajuk rencana; tiap minggu para mahasiswa harus review 1 artikel per hari dari 1 koran selama satu semester penuh! Tiap minggu harus ada laporan mingguannya yang dikumpulkan tiap sesi perkuliahan. Belum lagi matkul lain yang tugasnya juga nggak sedikit.

B-a-y-a-n-g-k-a-n.

Saya satu kelompok dengan Petek, Tyo, Ulum, Rize, Ganda, Harith, Fitra, Ani, Indah, dan Vina. Kebetulan saya, Petek, Tyo, Ulum, dan Rize sudah satu kelompok dari zaman produksi feature TV saat semester 5. Nah produksi ini ibaratnya puncak-puncaknya segala materi kuliah yang udah kita dapat dari semester 3, dari wawancara, penulisan berita cetak, feature cetak/radio/TV, manajemen media, sampai perkembangan media baru.


Tenaga, pikiran, mental, materi, dan segala macem tercurahkan di semester 6 ini, terutama produksi juju-an. Begadang nonstop, liputan bolak-balik Bandung-Jatinangor, bahkan sempet ke Jakarta juga untuk wawancara satu narsum, sampai liputan di taman-taman dan event-event. Saya inget banget waktu itu malah flu berat saat mengejar deadline penyelesaian tugas jurnalistik televisi dan cetak, sampai-sampai saya ngablu begadangnya, hahaha. Tapi akhirnya berbuah manis untuk produksi jurnalistik cetak dan radio (kecuali TV sih, ada sesuatu di ending-nya yang... ergh).

Beres semester brutal itu, lanjut ke semester 7. Di sini ada yang namanya penulisan berita mendalam (PBM) alias indepth news yang tugas akhirnya dikerjakan berdua. Pas penulisan berita mendalam lumayan juga struggle-nya, mulai bolak-balik Jakarta-Nangor sehari demi ngejar narasumber di Duren Tiga, terus nyaris nggak bisa pulang karena nggak dapet Transjakarta; penuhnya edan-edanan! Ending-nya pun bikin ketar-ketir juga.

Mendekati deadline pengumpulan tugas akhir, saya dan Fitra di-PHP-in narasumber. Saya udah tunggu narsumnya di kampus eh bilangnya langsung pulang karena sakit, padahal sudah janjian dari jauh-jauh hari (Ehem, bilang aja nggak mau diwawancara, Pak). Topik indepth news kami memang cukup 'sensitif', yakni terkait isu UU ITE yang waktu itu lagi ramai-ramainya diberitakan dan banyak warga yang dilaporkan ke polisi menggunakan UU ini.

Grafik intensitas tugas dan ketegangan di semester ini bisa dikatakan berkurang, karena rata-rata matkulnya tidak banyak praktik ke lapangan. Tapi di semester ini sudah ada matkul seminar dan metode penelitian kualitatif, di mana saya sudah harus memikirkan skripsi. Hayoloh...

Di saat teman-teman di kampus lain sudah skripsian atau bahkan lulus, semester 7 saya masih ada mata kuliah yang harus dilalui DAN belum bisa magang atau job training. Barulah di semester 8 saya baru mulai magang, di dua media massa pula. Jadi di saat-saat seperti ini, saya cuma bisa tutup kuping kalau ada yang nanya, "Kapan lulus?", hahaha.

Saat magang, saya beruntung sekali bisa menjadi intern reporter di Kompas.com dan TvOne. Pengalamannya tentu amat berharga; apa yang sudah dipelajari di bangku kuliah dipraktikkan, tetapi harus juga menyesuaikan diri dengan realita di lapangan.

Lantas, apa yang bisa saya tarik hikmahnya dari menjadi mahasiswi jurnalistik?

Ratusan hari sudah dilalui.
Keluhan sudah tak terhitung.
Malam tanpa memejamkan mata sudah biasa.
Jatuh-bangun mengejar dosen dan narasumber apalagi, sudah kebal.

Tapi mengapa itu semua malah membuat saya menjadi bersemangat?

Maybe it's my call.

Saya rasa jalur ini memang cocok bagi saya: menjadi mahasiswi jurnalistik.

Kesimpulannya? Ajaib!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Seperti yang pernah saya post sebelumnya (klik di sini), jadi mahasiswi ilmu komunikasi (ilkom) itu merupakan hal yang nggak terduga. Bermula ingin belajar DKV, eh banting setir ke ilkom. Sempet kepikiran apakah saya bisa melanjutkan keinginan besar untuk belajar desain grafis selama masa kuliah berlangsung.

Apparently, this alternative direction led me to one of the greatest experiences in my life.

Siapa bilang belajar komunikasi gampang? Uh huh, you got it wrong, pal. Ada banyak banget hal yang perlu dipahami untuk mendalami ilmu komunikasi. Even though I only learnt the basic, basic-nya itu justru cukup complicated lho. Mungkin bagi yang tidak mendalami komunikasi, akan jarang mendengar apa itu komunikasi intrapersonal, interpersonal, kelompok, massa, hingga budaya. Lalu ada juga pelajaran Ilmu Alamiah Dasar (IAD) dan Statistika Sosial, walaupun fakultas saya tergolong dalam fakultas humaniora. Bayangin, saya belajar lagi IPA dan matematika lho di bangku kuliah!

Istilah "We Can Not Not Communicate" dari Paul Watzlawick dan "Who Says What in Which Channel to Whom with What Effect" dari Harold Laswell pun sudah di luar kepala, saking keduanya merupakan bagian dari prinsip dasar ilmu komunikasi. Dua kalimat itu kalau dijabarkan bisa panjang, bahkan butuh satu semester untuk memahaminya; jadi jangan berharap saya akan menjelaskannya di sini karena ini bukan materi kuliah! Ini cuma curhatan di blog pribadi, hahahaha.

Lalu saya juga belajar lebih dalam tentang Bahasa Indonesia, Public Speaking, dan Fotografi. Nah untuk Public Speaking, ini jadi tantangan terbesar bagi saya karena saya bukanlah orang yang gemar berbicara di depan umum. Pastinya kalau bicara di depan umum saya gugup parah, ngomong jadi ngebut, dan merasa takut ada kejadian konyol! But hey, I'm a communication science student, and speaking is definitely one of the essential parts of communication. Ya saya mau nggak mau harus berani ngomong lebih banyak dong.

Fotografi? Ini nih mata kuliah yang membuka mata saya lebar-lebar soal bidang seni ini; sampai sekarang saya kerja sambilan jadi fotografer lepas. Pastinya saat pertama kali belajar fotografi, saya senang bukan main. Sejak SMA saya memang sering jadi 'tukang motret' entah di acara keluarga atau acara di sekolah. Akhirnya salah satu passion saya ini bisa semakin saya kembangkan ketika berada di bangku kuliah.

Itu baru di semester pertama. Semester kedua lebih rame lagi; mulai pengenalan tiga jurusan ilmu komunikasi dan materi perkuliahannya makin spesifik. Jadi di kampus saya (sampai angkatan 2012) program studi Ilmu Komunikasi dipecah lagi menjadi 3 jurusan: jurnalistik, hubungan masyarakat, dan manajemen komunikasi. Salah satunya akan dipilih sebelum semester 3 dimulai. Jadi mahasiswa ilkom akan terpecah ke jurusan masing-masing sesuai minat.

Yap, sesuai minat. Ini ibarat kata sampai lulus nanti jurusan yang dipilih bakal jadi 'jalan hidup' mahasiswa, di luar kemungkinan nanti setelah jadi sarjana mau bekerja sebagai apa. Makanya di sini mahasiswa harus berpikir sangat matang jurusan apa yang akan diambil pada tahun kedua.

Bagaimana dengan saya? Beruntung saya nggak mengalami masa krisis memilih jurusan karena sedari awal sudah memantapkan hati untuk bergabung dengan jurusan jurnalistik.

Di samping itu, ada lagi yang seru di semester 2: komunikasi lintas budaya! Nah ini nih salah satu mata kuliah paling menantang karena tugas akhirnya adalah membuat festival budaya! Di sini saya pernah cerita tentang gimana perjuangan mempersiapkan festival sampai akhirnya harus berpisah dengan teman-teman kelas Ilkom D. Kelas saya waktu itu mendapat negara Jerman (kelompok saya) dan Inggris.

Selama 1 tahun pertama saya juga berjumpa dengan teman-teman baru yang memiliki beragam karakter, pengalaman, dan sikap. Senang rasanya bisa sekelas dengan anak-anak Ilkom D yang rame dan seru! Kami sering main bareng, BBQ-an bareng di rumah Hiji, sampai jalan-jalan ke Bandung juga Kawah Putih. Satu hal yang paling saya nggak bisa lupakan, di saat saya sedang down parah saat semester 2 karena suatu hal, mereka men-support mental saya. Love you, Imbisilkom D!

Tuntas episode ilkom, saatnya beralih ke chapter berikutnya: jurusan jurnalistik.

Jurusan jurnalistik bersama jurusan lainnya pernah mengadakan presentasi di hadapan para mahasiswa sebelum memutuskan hendak ke mana mereka akan berlabuh di semester 3. Salah satu ciri khas jurusan jurnalistik tiap presentasi: bukannya promosi tapi malah membeberkan cerita seram dan keras tentang bagaimana sulitnya menjadi jurnalis, menghadapi model narasumber dari yang riweuh sampai berbahaya, dan gajinya yang tak seberapa.

Jadi jiper atau mundur? Saya sendiri nggak.

Nah, gimana ceritanya jadi mahasiswa jurnalistik selama beberapa semester ke depan ya?
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Saya mau cerita tentang acara jalan-jalan saya Desember silam ke sebuah tempat wisata yang baru dibuka. Lokasinya kalau bisa dibilang masih nyerempet dikit dari Setiabudi tapi udah ke arah Lembang gitu. Namanya Farmhouse Lembang.

Saya penasaran soalnya waktu itu sering banget liat di Instagram. Tempatnya lucu, ibarat kata zaman sekarang mah tempatnya instagramable banget. Karena semakin penasaran dan pengen jalan-jalan juga (mumpung dapet pinjeman motor), akhirnya saya berangkat bareng Petek.

Waktu itu saya berangkat tanggal 22 Desember 2015, hari Selasa. Weekday tuh jatuhnya, ngarep-ngarepnya sih nggak bakal sepadat pas weekend. Sebelum berangkat saya berusaha untuk optimis tempatnya bakal sepi pengunjung. Tapi saya juga baru ngeh kalau itu udah mau akhir tahun dan mendekati libur Natal dan Tahun Baru. Tapi ya namanya udah pengen jalan-jalan, liat situasi di tempat deh.

Di jalan menuju Farmhouse, terbukti kita mulai tersendat di depan kampus UPI. Untungnya bawa motor bisa nyelip, tapi tangan kiri pegelnya ampun-ampunan karena bawa motor Vixion yang notabene pakai kopling. Sempet lewat jalan pintas, akhirnya kita nyampe di deket Farmhouse. Oke, padat banget yang mau ke arah Lembang. Saya sempet sengaja ngelewatin Farmhouse karena jalur untuk masuk ditutupi semacam tali pembatas gitu, karena posisi dari sebelah kiri dan Farmhouse berada di sisi kanan dari arah Setiabudi. Eh pas muter balik, tetiba udah dibuka lagi. Masuklah kami ke dalam area Farmhouse.

Untuk tiket masuk, dikenakan 20 ribu Rupiah per orangnya. Tapi tiket masuk ini bisa ditukar sama susu murni rasa vanilla atau stroberi lho. Lumayan kan sambil jalan-jalan di dalam, saya bisa sembari minum susu murni. Rasanya enak lho yang stroberi.



Areanya ternyata nggak begitu besar. Lalu prediksi saya ternyata salah total. Tempatnya... rame banget. Parah sih ramenya, celah buat jalan aja kecil banget. Oh iya, untuk masuk ke area Farmhouse setelah ambil susu murni, ada flow-nya. Pertama kita bakal ngelewatin lorong yang diarahin ke sebuah rumah besar. Rumah itu isinya berbagai macam pernak-pernik, pakaian, asesoris, dan lainnya bagi yang mau berbelanja. Toko roti juga ada di dalam rumah. 





Setelah itu, kami keluar dan barulah melihat area rumah-rumah bergaya Eropa. The European vibe is so strong in this place.




Pastinya di depan rumah-rumah itu cocok banget buat berfoto. Sepengamatan saya, di sana rumah-rumahnya berisi restoran dan cafe. Ada juga rumah yang jadi tempat sewa baju ala Eropa, lebih tepatnya di lantai 2. Jadi bagi yang mau sewa baju, coba naik ke lantai atas cafe yang tembok bangunannya dari bebatuan.





Setelah itu, di area belakang saya menjumpai sebuah lapangan hijau yang cukup besar. Di sana dipajang beberapa sepeda sebagai properti yang bisa dipakai kalau mau berfoto ria. Nah di spot ini juga oke untuk foto, khususnya dengan latar rumah Eropa dari kejauhan. Asli, kesannya memang nggak seperti di Bandung lho. Nuansa Eropanya juga terasa banget di sini. Selain lapangan, kalau mau duduk-duduk lucu bisa juga menempati bangku taman yang tersedia di sekeliling lapangan.



Nah setelah puas-puasin motret di lapangan ini, saya dan Petek melanjutkan tur mini di Farmhouse. Kami berjalan turun dari lokasi sebelumnya, lalu menemui area small zoo dan miniatur rumah Hobbit. Small zoo ini memelihara kelinci, aneka burung, kuda poni, domba, sampai reptil. Anak-anak pastinya senang kalau dibawa ke sini.




Lalu yang jadi spot favorit para pengunjung adalah miniatur rumah Hobbit. Kelihatannya memang mirip kok, apalagi pintu bulat khasnya. Untuk foto di depan rumah ini, orang-orang sampe ngantri lho.




Setelah puas keliling, saya dan Petek berjalan keluar melewati rumah yang pertama dilewati. Kami baru sadar kalau sebelum rumah itu, ada rumah kecil di sisi kiri yang ternyata jadi jalur menuju taman lainnya. Rumah kecil itu menjual aneka pernak-pernik, khususnya gembok kecil. Nah gembok ini kebanyakan dibeli untuk dipasang di sebuah jembatan nggak jauh dari tempat itu. Bagi para pasangan pastinya gatel pengen beli dan pasang gembok yang sudah diberi nama masing-masing.

Di sana juga cocok untuk foto-foto, namun areanya lebih kecil dan jalannya lebih sempit. Untuk bisa foto-foto di atas jembatan, seenggaknya 2 sampai 3 pengunjung bisa berdiri di sana dan harus bergantian.



So far jalan-jalan di Farmhouse cukup menyenangkan. Berhubung padat dan kecil tempatnya, jadi memang ruang gerak sedikit terbatas kalau lagi ramai. Tapi untuk konsep bisa dibilang oke, karena suasana Eropanya berasa banget. Kalau mau main ke sini, pastinya akan lebih santai kalau datang saat weekday. Farmhouse juga lumayan dekat dari Setiabudi jadi kalau ingin tempat wisata yang nggak begitu jauh, ini bisa jadi solusinya.

So, selamat liburan dan selamat jalan-jalan!
Share
Tweet
Pin
Share
1 comments
Older Posts

The Writer

The Writer

Categories

travel Trip Experiences thought photography Solo Travel Spain Study

Popular Posts

Instagram

@pspratiwi



Blog Archive

  • ▼  2019 (1)
    • ▼  October 2019 (1)
      • Accidentally Mixing Spanish & English!
  • ►  2018 (8)
    • ►  December 2018 (2)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  May 2018 (1)
    • ►  February 2018 (1)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (8)
    • ►  November 2017 (1)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  April 2017 (2)
    • ►  March 2017 (1)
    • ►  February 2017 (1)
  • ►  2016 (11)
    • ►  December 2016 (2)
    • ►  July 2016 (1)
    • ►  May 2016 (1)
    • ►  April 2016 (5)
    • ►  January 2016 (2)
  • ►  2015 (10)
    • ►  December 2015 (2)
    • ►  November 2015 (1)
    • ►  October 2015 (3)
    • ►  September 2015 (1)
    • ►  July 2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
  • ►  2014 (4)
    • ►  December 2014 (3)
    • ►  October 2014 (1)
  • ►  2013 (5)
    • ►  November 2013 (2)
    • ►  March 2013 (1)
    • ►  January 2013 (2)
  • ►  2012 (12)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (2)
    • ►  August 2012 (1)
    • ►  May 2012 (4)
    • ►  February 2012 (4)
  • ►  2011 (16)
    • ►  November 2011 (3)
    • ►  October 2011 (1)
    • ►  August 2011 (4)
    • ►  July 2011 (1)
    • ►  June 2011 (3)
    • ►  April 2011 (2)
    • ►  March 2011 (2)
  • ►  2010 (4)
    • ►  December 2010 (3)
    • ►  September 2010 (1)
  • ►  2009 (1)
    • ►  December 2009 (1)

Created with by ThemeXpose