Journal #02: Jadi Mahasiswi Jurnalistik?

by - 8:15 PM

Kalau mengingat-ingat lagi masa perkuliahan dari semester 3 sampai semester 7, rasanya itu... luar biasa, melelahkan, dan ajaib!!!

Semester 3 sampai semester 6 saya ngerasain yang namanya "berdarah-darah" ngerjain tugas; mulai dari tugas mingguan Abang Sahala, tugas wawancara, nulis straight news, nulis feature, nulis artikel, produksi jurnalistik (TV, majalah, dan radio), sampai berita mendalam.

Apalagi saat semester 3, saya dan teman-teman seangkatan harus melalui dulu yang namanya 'Orientasi Jurnalistik' (OJ) sebelum sah bergabung di Himpunan Mahasiswa Jurnalistik (HMJ). Semester 3 jadi salah satu semester berat, karena tugas bejubel plus dibarengi OJ yang waktunya bener-bener random.

Pastinya, selama kuliah liputan dan wawancara itu udah jadi kebiasaan. Baca majalah Tempo tiap minggu juga makin sering karena jadi tugas mingguan. Begadang, nggak mandi, ke kampus belum tidur pun jadi rutinitas sehari-hari. Ditambah lagi saya harus bisa menyeimbangi kegiatan antara kuliah, organisasi, dan kehidupan sosial; kuliah harus tetep mempertahankan nilai, ngurus di dua organisasi, dan meluangkan waktu untuk main sama temen-temen. Saya akui itu memang nggak gampang, energi banyak terkuras, tapi beruntung saya selalu enjoy ngejalaninnya.

Masih di semester 3, saya punya pengalaman unik saat mengerjakan tugas matkul wawancara. Waktu itu hari Jumat, tumbenan pagi-pagi saya kebangun. Nggak begitu lama setelah bangun, saya ditelepon narasumber yang bersedia diwawancara. Epic-nya, beliau ada di Garut karena berprofesi sebagai guru TK di sana. Saya harus mengejar sebelum jam 12 untuk tiba di Garut dari Jatinangor!

Nggak pake acara mandi (cuma gosok gigi dan cuci muka), saya langsung berangkat naik motor dari Jatinangor ke Garut. Sempet khawatir terlambat sampai, tapi ternyata saya bisa sampai di sana sekitar jam 11 siang. Beruntung ibunya baik banget, bahan wawancara tentang disertasinya dikasih lengkap, bahkan saat pulang dikasih kue sekotak. Dalam perjalanan menuju Nangor cuma bisa cengar-cengir karena senang bisa mendapat bahan tugas lengkap dan narasumbernya baik banget!

Di semester 5, saya mulai struggling mengerjakan tugas penulisan feature dan produksi feature TV. Untuk feature TV, kelompok saya sampe bela-belain bolak-balik Nangor-Pangalengan untuk liputan lho! Bahkan saat baru mau memasukkan surat perizinan ke pihak KPBS, saya, Petek, Che, Ulum, dan Tyo sampe bela-belain tidur di teras minimarket demi menyambangi kantornya pagi-pagi. Parahnya, Pangalengan berada di dataran tinggi, dan dinginnya ampun-ampunan!


Di feature buatan kami ini, kami mau menampilkan lokasi wisata dan keunikan dari Pangalengan. Lalu di akhir semester, liputan kami ini di-submit ke NET TV oleh dosen pengampu matkul, dan ternyata masuk ke segmen Citizen Journalism di program beritanya! Pengalaman nyaris dikepret ekor sapi saat shooting pun ternyata berujung manis, hahaha.

Semester 5 berlalu, masuklah di semester 6. Semester ini terkenal paling hardcore karena ada mata kuliah praktik jurnalistik atau dikenal dengan produksi juju-an; produksi program berita TV, siaran radio, sampai bikin majalah. Kemudian dibarengi mata kuliah penulisan artikel dan tajuk rencana; tiap minggu para mahasiswa harus review 1 artikel per hari dari 1 koran selama satu semester penuh! Tiap minggu harus ada laporan mingguannya yang dikumpulkan tiap sesi perkuliahan. Belum lagi matkul lain yang tugasnya juga nggak sedikit.

B-a-y-a-n-g-k-a-n.

Saya satu kelompok dengan Petek, Tyo, Ulum, Rize, Ganda, Harith, Fitra, Ani, Indah, dan Vina. Kebetulan saya, Petek, Tyo, Ulum, dan Rize sudah satu kelompok dari zaman produksi feature TV saat semester 5. Nah produksi ini ibaratnya puncak-puncaknya segala materi kuliah yang udah kita dapat dari semester 3, dari wawancara, penulisan berita cetak, feature cetak/radio/TV, manajemen media, sampai perkembangan media baru.


Tenaga, pikiran, mental, materi, dan segala macem tercurahkan di semester 6 ini, terutama produksi juju-an. Begadang nonstop, liputan bolak-balik Bandung-Jatinangor, bahkan sempet ke Jakarta juga untuk wawancara satu narsum, sampai liputan di taman-taman dan event-event. Saya inget banget waktu itu malah flu berat saat mengejar deadline penyelesaian tugas jurnalistik televisi dan cetak, sampai-sampai saya ngablu begadangnya, hahaha. Tapi akhirnya berbuah manis untuk produksi jurnalistik cetak dan radio (kecuali TV sih, ada sesuatu di ending-nya yang... ergh).

Beres semester brutal itu, lanjut ke semester 7. Di sini ada yang namanya penulisan berita mendalam (PBM) alias indepth news yang tugas akhirnya dikerjakan berdua. Pas penulisan berita mendalam lumayan juga struggle-nya, mulai bolak-balik Jakarta-Nangor sehari demi ngejar narasumber di Duren Tiga, terus nyaris nggak bisa pulang karena nggak dapet Transjakarta; penuhnya edan-edanan! Ending-nya pun bikin ketar-ketir juga.

Mendekati deadline pengumpulan tugas akhir, saya dan Fitra di-PHP-in narasumber. Saya udah tunggu narsumnya di kampus eh bilangnya langsung pulang karena sakit, padahal sudah janjian dari jauh-jauh hari (Ehem, bilang aja nggak mau diwawancara, Pak). Topik indepth news kami memang cukup 'sensitif', yakni terkait isu UU ITE yang waktu itu lagi ramai-ramainya diberitakan dan banyak warga yang dilaporkan ke polisi menggunakan UU ini.

Grafik intensitas tugas dan ketegangan di semester ini bisa dikatakan berkurang, karena rata-rata matkulnya tidak banyak praktik ke lapangan. Tapi di semester ini sudah ada matkul seminar dan metode penelitian kualitatif, di mana saya sudah harus memikirkan skripsi. Hayoloh...

Di saat teman-teman di kampus lain sudah skripsian atau bahkan lulus, semester 7 saya masih ada mata kuliah yang harus dilalui DAN belum bisa magang atau job training. Barulah di semester 8 saya baru mulai magang, di dua media massa pula. Jadi di saat-saat seperti ini, saya cuma bisa tutup kuping kalau ada yang nanya, "Kapan lulus?", hahaha.

Saat magang, saya beruntung sekali bisa menjadi intern reporter di Kompas.com dan TvOne. Pengalamannya tentu amat berharga; apa yang sudah dipelajari di bangku kuliah dipraktikkan, tetapi harus juga menyesuaikan diri dengan realita di lapangan.

Lantas, apa yang bisa saya tarik hikmahnya dari menjadi mahasiswi jurnalistik?

Ratusan hari sudah dilalui.
Keluhan sudah tak terhitung.
Malam tanpa memejamkan mata sudah biasa.
Jatuh-bangun mengejar dosen dan narasumber apalagi, sudah kebal.

Tapi mengapa itu semua malah membuat saya menjadi bersemangat?

Maybe it's my call.

Saya rasa jalur ini memang cocok bagi saya: menjadi mahasiswi jurnalistik.

Kesimpulannya? Ajaib!

You May Also Like

0 comments