• Home
  • About
  • Contact
Powered by Blogger.
facebook twitter instagram Email

Curlnology

Punya rambut keriting itu berkah sekaligus sebuah tantangan. Nothing beats its uniqueness, tapi rambut keriting itu harus dirawat banget karena kondisi sebenarnya cukup fragile. Ya bisa dilihat kalau rambut saya ini kelihatannya megar, kering, dan tebal. Padahal sebenarnya rambut saya tipis, lho. Megar dan tebal itu hanya efek dari bentuk keriting yang ngembang.

Kebetulan rambut saya jadi keriting semenjak kelas 5 SD sampai sekarang (ceritanya di sini). Zaman SMP, saya nyoba pakai conditioner nggak dibilas (yang seharusnya dibilas, bukan yang leave on). Tapi ending-nya saya nyerah. Saya nggak kuat sama lembabnya si conditioner yang nggak dibilas karena bikin gerah dan lengket. Jadi jangan coba pakai conditioner yang harusnya dibilas malah dibiarin ya. Asli, nggak enak banget rasanya di kepala.

Kemudian ketika duduk di bangku SMA, saya masih belum nemu produk yang cocok untuk menaklukkan rambut saya. Akhirnya saat memasuki zaman kuliah, saya mulai bereksplorasi dengan beragam cara dan bermacam produk demi ngempesin rambut megar.

Intinya saya ingin mencoba membagi cara yang saya gunakan untuk menaklukan rambut keriting yang kusut, megar, dan kering. Sebelumnya saya sempat googling tetapi rata-rata kebanyakan orang luar yang rambutnya keriting itu tipe 4 yang keritingnya udah kecil-kecil banget dan mendekati kribo. Ada juga yang tipe 3 (kebetulan saya tipe 3A), tapi sayangnya produk yang mereka gunakan kebanyakan tidak dijual di Indonesia. Sementara itu dari situs lokal, saya belum menemukan cara yang pas untuk saya coba.


By the way, silakan baca tentang tipe rambut keriting di sini dan di sini kalau belum tahu tipe rambut mana yang dimiliki.

Mungkin akan ada beberapa cara yang mungkin bikin dahi mengerenyit alias terkesan aneh, but somehow it works on me.

Jarang Sisir Rambut
Semakin sering nyisir, rambut makin megar. Rambut keriting kalau disisir malah pecah keritingnya; bentuk asli keriting bakal rusak, rambut jadi nggak menyatu, dan ujung-ujungnya makin berantakan. Makanya saya sisiran kalau mau keramas saja dan setelah keramas untuk merapikan rambut yang kusut.
Selebihnya? Saya nggak sisiran lagi pakai sisir biasa. Kalau rambut mulai kusut, saya biasanya sisir pakai jari. Cara itu akan lebih menjaga bentuk keriting dan meminimalisasi megar. Kalau ada yang malas pakai jari, bisa juga pakai sisir garpu yang giginya jarang-jarang.

Keramas Seminggu Dua Kali
Well bagi yang sangat higienis dan harus keramas tiap hari, mungkin cara ini bisa dilewatkan. Tapi saya merasakan dampak lebih baik pada rambut dari jarang keramas ketimbang frekuensi yang terlalu sering. Berdasarkan beberapa situs yang saya baca, kalau terlalu sering keramas, minyak alami di rambut akan hilang dan itu akan menyebabkan rambut jadi semakin kering. Saya sepakat karena kenyataannya sehabis keramas itu rambut justru lebih kering walaupun rasanya lebih lembut dan ringan.
Kalau memang perlu banget ngebasahin rambut, nggak perlu pakai shampoo-nya. Cukup gunakan conditioner. Ini sering banget saya lakuin, karena rambut keriting itu kuncinya adalah kelembaban. Kalau kering, it's such a disaster. Stok conditioner saya pasti paling cepat habis dibanding shampoo, karena conditioner lah yang lebih penting daripada shampoo; bikin rambut saya lebih halus dan lembab tanpa jadi lebih kering.

Avoid Hair Dryer
Saya kebetulan jarang sekali pakai hair dryer karena bakal memperparah kondisi rambut; jadi kering banget dan tambah megar. Ada pula yang menyarankan pakai difusser, tapi ya itu kan belum tentu punya atau mudah didapat. Jadinya saya memilih cara alami saja, yaitu dibiarkan kering sendiri. Kalau mau lebih cepat, tinggal duduk atau berdiri di depan kipas angin. Cara ini bisa menjaga bentuk asli keritingnya. Bahkan menurut saya, rambut keriting yang baru kering itu bisa dibilang 'curl at its finest'. Bentuknya masih asli, rambut masih berasa ringan banget, dan nggak megar.
Ada lagi cara yang oke untuk ngeringin rambut, yaitu 'dibungkus' pakai kaos. Saya pernah coba saat keramas malam hari; setelah dikeringkan pakai handuk, saya balut rambut pakai kaos. Hasilnya? Ternyata rambut saya jadi lebih terjaga bentuk keritingnya dan nggak berasa kasar. Tips ini saya dapat dari beberapa situs terkait rambut keriting.

Colored Curly Hair = Extra Maintenance!
Dari 2013, saya sudah mulai coba-coba mewarnai rambut. Saya kepengen punya warna rambut ash yang undertone-nya biru, bukan coklat kemerah-merahan (ini saya sebel banget). Apalagi, Agustus 2015 saya mem-bleach rambut bagian dalam sebanyak tiga kali karena ingin saya timpa warna abu-abu atau biru. Alhasil semakin sering saya cat rambut, semakin rusak pula rambut saya.

Kira-kira itu cara yang biasa saya lakukan untuk merawat rambut keriting yang kering dan mudah kusut. Di postingan berikutnya, saya mau menceritakan tentang produk-produk rambut yang biasa saya pakai untuk mengatasi masalah serupa, khususnya rambut keriting yang sudah diwarnai berkali-kali.

Adios and see you on the next post!


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

11 Oktober 2014
Kakunodatemachi Nishinagano, Senboku, Prefektur Akita

Pagi hari, saya bersama teman-teman menyempatkan diri untuk jalan-jalan di sekitar rumah okā-san. Lagi-lagi saya speechless ngeliat suasana di sekitar rumah okā-san; luas banget dan bener-bener asri! Foto di atas terletak di belakang rumah dan di sana hanya ada bukit plus pepohonan yang cukup banyak. Dari sini akan tembus menuju rumah kayu yang berada di atas bukit (rumah kayu yang kami sambangi sore kemarin).

Nah, habis mengelilingi kawasan rumah oka-san, kami diajak jalan-jalan nih sama okā-san. Wah diajak pergi ke mana ya?

Pertama, kami diajak makan sushi! 


Saya pribadi suka banget makan sushi, dan penasaran pengen ngerasain makan di kedai sushi langsung di Jepang, hehehe. Kami berenam lalu dibawa ke sebuah kedai sushi (saya nggak inget persis di mana, tapi kalau nggak salah deket mall-nya Akita deh). Karena tempat duduknya terbatas, kami akhirya terpecah ke dua 'kubu'. Saya duduk bersama okā-san dan Arina. Nah di sini saya mencoba untuk ngobrol sama okā-san.

Saat mau milih menu sushi, saya sempet nanya ke okā-san, "Kore wa nan desuka?" Lalu dibalas dengan kalimat yang saya nggak pahami, hahaha. Tapi untungnya oka-san masih menjelaskan dengan gerak tubuh dan setidaknya saya masih paham dengan maksud okā-san. Sambil ngobrol, sambil makan sushi. Nggak berasa kami bertiga aja udah menghabiskan sekitar 18 piring! Temen-temen lain yang duduk di seberang langsung kaget karena tumpukan piringnya tinggi banget.

Nah di sini saya juga merasakan pengalaman yang berbeda terkait makan di kedai sushi. Di sini, orang Jepang memakan sushi nggak pakai sumpit, tapi langsung pakai tangan. Lalu kalau untuk penggunaan kecap asin, wasabi, dan bubuk cabai harus benar-benar terpakai semua; jangan sampai tersisa. 

Pelayanan di kedai ini juga unik lho. Nggak ada yang namanya waitress di sini; pesan sushi tinggal pilih di layar sentuh yang ada di tiap meja. Kalau sudah memilih, ada opsi apakah mau pakai wasabi di dalam sushi-nya atau nggak. Setelah itu, nunggu pesanan, sushi kemudian datang diantar oleh kereta mini! Nah, ada lagi nih, kalau di Indonesia saya seringnya minum ocha sudah jadi. Kalau di sini, ocha dibuat sendiri oleh konsumen. Bubuk teh hijau (ocha) sudah tersedia, lalu di meja ada keran air panas untuk menyeduh ocha.

Beres makan sushi, kami nggak langsung pulang. Sekarang kami mau berbelanja di swalayan, karena belanja karena malam ini kami berenam akan masak makanan khas Indonesia untuk okā-san dan otō-san!

Belanja sudah selesai, kami kembali ke rumah oka-san. Namun sebelumnya kami mampir ke sebuah toko perkakas yang cukup besar di sana karena okā-san harus membeli titipan otō-san. Setibanya di rumah, kami pun bersantai sejenak sebelum memulai masak. Rencananya, kami akan memasak salah satu makanan yakni sayur sop (Sisanya saya lupa, I'm so sorry!).

Dari sore sampai menjelang malam kami sibuk memasak karena masakan kami akan disajikan untuk makan malam. Semuanya dipersiapkan, dan kami menikmati waktu yang sangat menyenangkan bersama okā-san dan otō-san.

Setelah acara makan malam usai, kami berenam beberes meja makan dan dapur. Lalu saya baru sadar di sana ada CD tape di dekat dapur, dan di dalamnya ada CD The Carpenters.

[Play]

Mengalunlah lagu "(They Long to Be) Close to You", yang sangat berkesan bagi saya. Sambil duduk di kursi goyang, mendengarkan di malam terakhir kami menginap di rumah okā-san dan otō-san...

Why do birds suddenly appear, every time you are near?
Just like me, they long to be close to you.
Why do stars fall down from the sky, every time you walk by?
Just like me, they long to be close to you...



12 Oktober 2014
Kakunodatemachi Nishinagano, Senboku, Prefektur Akita

Pagi kembali tiba, kami harus dihadapi kenyataan bahwa kami akan meninggalkan rumah okā-san dan otō-san. Sebelumnya saya sempat jalan-jalan bersama Cynthia dan Rie ke rumah kayu satu lagi yang berada di depan rumah okā-san dan otō-san (dari posisi saya memotret foto di atas, masih harus naik bukit lagi).

Packing, check! Sarapan, check!

Saatnya berhadapan salah satu momen yang cukup membuat kami sedih: berpisah dengan okā-san, karena ia tidak bisa ikut mengantar kami ke tempat berkumpul seluruh peserta JENESYS. Kami akan pergi bersama otō-san. Tentunya kami nggak lupa untuk berfoto bersama sebelum berangkat.




Saya bersama okā-san dan otō-san serta anjing peliharaan mereka, Hana. Hana lucu banget, untungnya anjing ras Shiba ini nggak galak, hahaha. (PS: saya sebenarnya deg-degan banget deket-deket sama Hana, karena takut banget sama anjing!)

Kami kemudian bergegas menuju lokasi titik kumpul seluruh peserta JENESYS, yakni di Grandeaile Garden. Di sini kami akan makan siang sekaligus menyelenggarakan farewell party dengan seluruh keluarga homestay yang terlibat.

Suasananya sangat ramai, karena sepenglihatan saya setiap peserta sudah sangat dekat dengan keluarga angkatnya. Bahkan ada sesi semua peserta dan keluarga homestay nari bersama diiringi lagu khas Indonesia dan itu bener-bener seru lho! Nggak ketinggalan pula, salah satu keluarga dari Jepang juga memberikan persembahan berupa tarian sebelum acara ditutup.



Nah, ini nih, salah satu momen yang tadinya ceria banget langsung berubah drastis. Saatnya seluruh keluarga angkat berpamitan dan kembali ke rumah. Kebanyakan pada terharu, tapi ada juga yang nggak bisa membendung air matanya. Jujur saya sama temen-temen awalnya berusaha untuk tegar *halah*, eeeh tapi kalo otak sama perasaan lagi nggak sinkron, udah deh reaksi tubuh nggak bisa dibohongin. Mata saya berkaca-kaca sampai nggak sanggup liat otō-san, soalnya otō-san udah mau pulang...

"Arigatou gozaimasu!"

Saya bersama teman-teman membungkukkan badan (sambil menyembunyikan mata yang udah berkaca-kaca, hehe), sangat berterima kasih atas kekeluargaan dan keramahan yang kami dapat bersama otō-san dan oka-san di waktu yang sangat singkat tersebut. Walaupun baru kenal dua hari, tapi rasanya berat banget untuk berpisah dengan mereka. But the program must go on, right?



Semua keluarga homestay sudah pulang, kami pun melanjutkan program yang harus diikuti. Lalu kami akan menginap di Highland Hotel Shunjuan Sanso untuk stay selama semalam sebelum kembali ke Tokyo pagi harinya. Tetapi yang paling penting, di sini kami menggodok project akhir kelompok yang akan dipresentasikan esok hari di Tokyo.

Pastinya project ini harus dipersiapkan dengan matang karena akan dipresentasikan di hadapan para pejabat JICE selaku penyelenggara program ini. Kelompok saya waktu itu akhirnya memutuskan membuat video sekaligus speech yang menjelaskan tentang hasil kegiatan, pengetahuan, dan temuan lainnya yang diperoleh selama beberapa hari sebelumnya.

Proses brainstorming ide dari 25 orang di dalam satu kelompok ini memang nggak gampang. Output project bisa ditentukan dengan mudah, tapi menentukan apa kontennya yang butuh proses panjang. Sebenarnya separuh dari konten sudah dibahas saat masih menginap di Akita, tetapi di sini lah saatnya mematangkan konsepnya.

Usai makan malam sekitar pukul 7, ruang meeting yang sebelumnya kami gunakan ternyata tidak bisa dipakai lagi. Akhirnya kami pindah ke lobby hotel untuk mengerjakan video beserta konten speech-nya. Saya inget banget, kami mengerjakan project ini sampai pukul 2 pagi. Itu sampai lampu lobby dimatiin semua sama stafnya. Akhirnya kami ngerjain sambil gelap-gelapan, mana waktu itu saya yang bikin video-nya; mata rasanya jureng banget ngeliat monitor laptop berjam-jam, plus suasana lobby yang gelap.

Intermezzo: Saya bisa makin banyak ngobrol dengan teman-teman sekelompok sambil mengerjakan project akhir. Sambil cerita, sambil beresin project.

Lalu saat saya istirahat sebentar, iseng-iseng ke luar di depan lobby hotel; d-i-n-g-i-n banget! Kalau nggak salah itu suhunya 8 derajat Celcius. Makin malam memang makin dingin, apalagi Akita lokasinya udah di bumi belahan utara.

Mata sudah lelah, badan pun sudah rentek. Kami yang tersisa akhirnya bisa istirahat setelah project selesai. Bisa dibilang kami hanya punya waktu 4 jam untuk tidur karena pagi-pagi sudah harus bangun untuk bersiap kembali ke Tokyo...


13 Oktober 2014
Tazawako Station, Prefektur Akita

Sekitar pukul delapan pagi, cuaca tampak mendung. Ternyata berdasarkan ramalan cuaca, hari ini cuacanya kurang bagus. Saya mulanya mendengar hanya terjadi di Tokyo, tetapi ternyata Akita juga demikian. Saat kami berada di Stasiun Tazawako untuk menaiki shinkansen menuju Tokyo, anginnya berhembus sangat kencang. Awannya pun sangat gelap. Saya khawatir di Tokyo nanti akan lebih parah...


Setibanya di Stasiun Tokyo, suasana gelap dan mendung sangat mendominasi. Bahkan sudah mulai turun hujan. Saya bersama rombongan lalu berjalan kaki dari stasiun menuju tempat parkir bus untuk menyambangi lokasi berikutnya.

Tokyo Fashion Town Building pun menjadi lokasi kami mempresentasikan project akhir sebelum menyelesaikan program JENESYS 2.0 Mass Media and Broadcasting Batch 4. Arsitektur gedungnya modern sekali. Di sana kami makan siang dahulu sebelum memulai sesi presentasi.

Fyuh, saatnya presentasi! Giliran presentasi ditentukan berdasarkan urutan grup. Saya tergabung dalam grup C, jadi kami akan maju di urutan ketiga. Waktu itu yang mewakili kelompok kami untuk memberikan speech adalah Shella, Billy, dan Firdha. Saya kebetulan menjadi operator untuk menyiapkan video yang sudah dibuat.


Presentasi akhirnya selesai! Acara pun ditutup dengan pemberian sertifikat kepada perwakilan kelompok serta sepatah kata dari perwakilan JICE. Kami tentunya senang bukan main, karena project akhir kami sudah rampung. Tapi tentunya ini menjadi pertanda bagi kami bahwa waktu kami di Tokyo tinggal satu hari lagi.

Saya bersama grup C pun berfoto bersama dengan pendamping grup kami yang sangaaat baik, yaitu Kawanishi-san dan Kajiya-san. Banyak momen seru dan kocak bersama mereka, dan tentunya kami pasti bakal clueless kalau nggak ada bantuan dari mereka.

Sayangnya, setelah sesi ini, Kajiya-san (yang rambutnya pendek, berdiri di tengah) akan berpisah dengan kami karena tugasnya sudah selesai. Selebihnya kami akan didampingi oleh Kawanishi-san yang sudah menemani kami semenjak hari pertama bertemu di hotel.

Usai meninggalkan Tokyo Fashion Town Building, seluruh rombongan mampir ke Daiei Shinurayasu dan MONA Shinurayasu, dengan tujuan makan malam serta membeli kebutuhan yang mungkin diperlukan saat pulang ke Jakarta. Setelah itu kami kembali ke hotel awal kami menginap, yakni Tokyo Emion Bay Hotel. Kami akan menghabiskan satu malam di sana sebelum berangkat ke Bandara Narita besok pagi. 

Too bad, badai melanda Tokyo malam ini, jadinya kami nggak diperbolehkan untuk keluar hotel...



Last Day
14 Oktober 2014
Bandara Internasional Tokyo Narita, Prefektur Chiba

I'm going to miss those moments in Japan. I'm going to miss those places I've visited.
Tokyo, Yokohama, Akita, oka-san, otō-san, Kajiya-san, Kawanishi-san,
everything.

6 sampai 14 Oktober 2014 akan menjadi hari yang sangat saya ingat. Hari-hari saya akhirnya meraih salah satu impian saya untuk menjajakan kaki di Jepang. Tak terhitung berapa banyak pengalaman dan cerita baru yang saya peroleh selama berada di sana. 

I am so grateful. Tanpa perjuangan apapun pasti saya nggak bakal bisa mendapat pencapaian seperti ini. Saya amat berterima kasih kepada pihak-pihak yang sudah membantu selama menjalani program ini, mulai dari kampus, orangtua, kawan-kawan di kampus, staf Kemeninfo, panitia JENESYS 2.0, hingga teman-teman baru yang saya temui.

Semoga saya mendapat kesempatan lagi untuk menjelajahi Jepang lebih luas dan lebih mendalam.

Akita & Tokyo, you're always on my mind.




Share
Tweet
Pin
Share
No comments

10 Oktober 2014
Prefektur Akita

Sambil packing, saya sebenarnya agak deg-degan begitu tahu agenda hari ini. Kami akan berkunjung ke sebuah kawasan historis di Akita yang terkenal akan samurainya. Tapi setelah itu, 97 peserta yang ikut bakal dipecah ke beberapa kelompok kecil untuk menginap di rumah warga setempat!

Jadi dalam program JENESYS 2.0, ada jadwal khusus yakni homestay. Kami akan tinggal selama dua hari bersama keluarga asli Jepang yang tinggal di Akita. Deg-degan karena bener-bener nggak kebayang seperti apa nanti saat homestay bersama keluarga baru ini. But today would be sooo interesting!




Kakunodate Bukeyashiki
Distrik Senboku, Prefektur Akita

Kedatangan kami di sini ternyata disambut oleh Walikota Senboku, Kadowaki Mituhiro. Ia pun sempat memberi pidato di awal kunjungan kami di Kakunodate Bukeyashiki, tepatnya di Kaba Craft Densho-kan, sekaligus menceritakan tentang pariwisata di wilayah pemerintahannya. Kebetulan walikota yang satu ini humoris, di sela-sela pidato (setelah diterjemahkan) pasti ada aja gelak tawa dari peserta yang hadir.

Ngomong-ngomong apa sih Kakunodate Bukeyashiki? Sayangnya pertanyaan saya yang satu ini belum terjawab karena setelah mengikuti pidato, kami harus makan siang dulu di tempat yang cukup jauh dari kawasan bersejarah ini. Barulah habis itu saya bisa mengikuti tur keliling Kakunodate Bukeyashiki.




Perut sudah terisi, kami pun kembali ke Kakunodate Bukeyashiki. Saya bersama separuh grup C didampingi Kawanishi-san dan seorang pemandu wisata bersiap untuk mengobservasi kawasan ini. Kakunodate Bukeyashiki dikenal sebagai kawasan bersejarah karena ini adalah kompleks rumah para samurai.

Kakunodate menjadi salah satu kota kecil yang dijuluki "little Kyoto". Kota ini berdiri pada 1620, dipimpin oleh klan Satake pada zaman Edo . Biasanya pada awal September, kota ini mengadakan Festival Musim Gugur. Festival tersebut sudah berjalan selama lebih dari 350 tahun, lho.

Di kawasan ini tentunya akan mudah sekali melihat rumah-rumah samurai. Ada juga beberapa rumah samurai yang dijadikan museum, sehingga pengunjung bisa memasuki dan melihat ruangan yang ada di dalamnya. Tetapi memasuki sebagian rumah tersebut ada yang dipungut biaya, ada pula yang tidak perlu membayar alias gratis.

Setiap rumah memiliki pintu gerbang dan atap pintu depan rumah. Nah pemandu kelompok saya waktu itu sempat menyebutkan kalau gerbang dan atap pintu tersebut bukan sekadar ornamen rumah saja, tetapi menunjukkan status sosial penghuni. Semakin megah dan besar gerbang dan atapnya, maka semakin tinggi 'pangkatnya'.


Beres mengelilingi Kakunodate Bukeyashiki, kami semua melanjutkan jadwal kegiatan berikutnya. Inilah saat-saat yang bikin deg-degan... Bertemu dengan keluarga homestay!

Saya nggak tahu persis di mana tempatnya, tapi saya dan teman-teman dibawa ke sebuah gedung untuk bertemu dengan keluarga homestay kami. Ketika masuk, kami melihat para keluarga sudah hadir dan duduk menanti. Rasanya campur aduk, nggak sabar pengen bergabung sekaligus penasaran dengan siapa saya bakalan tinggal.

Tentunya tinggal bersama keluarga asli Jepang menjadi tantangan tersendiri bagi kami, termasuk saya. Kendalanya tentu di bahasa, kebanyakan keluarga di sini tidak bisa berbahasa Inggris. Jadinya harus pintar-pintar berkomunikasi non-verbal, lebih banyak menggunakan bahasa tubuh. Namun saat orientasi kami dibagikan buku saku panduan bahasa Jepang, jadi setidaknya bisa sedikit terbantu.

Saya sendiri sebenarnya ada basic bahasa Jepang karena sewaktu SMA saya belajar bahasa ini. Tapi sekarang saya cuma hapal huruf hiragana dan katakana, serta percakapan paling basic, seperti sapaan, ucapan terima kasih, dan beberapa pertanyaan dasar lainnya. Selebihnya? Waduh bablas, nggak ngerti sama sekali.

Kembali ke gedung. Saya akhirnya menerima lembar berisikan informasi dasar keluarga yang nantinya akan menjadi keluarga angkat saya di sana. Saya juga mengetahui teman-teman yang akan tinggal bersama saya; Arina, Anggie, Rie, Cynthia, dan Shella. Kebetulan semuanya adalah teman satu grup dan sudah kenal cukup baik dengan mereka.

Kami pun berkumpul, bertanya-tanya siapa yang menjadi keluarga angkat kami. Ketika sebagian besar kelompok lain sudah bergabung dengan keluarganya, saya masih belum menemui mereka. Sambil menunggu, saya juga melihat ada keluarga lain yang membawakan karton bertuliskan ucapan selamat datang untuk anak-anak mereka. Wah suasana waktu itu cukup riuh, menggembirakan karena bisa berbaur dengan keluarga baru di sini.

Kemudian sesosok wanita paruh baya menghampiri kami. Ah, ternyata itu orangtua angkat kami! Saya dan teman-teman senang akhirnya bisa bertemu dengan orangtua angkat kami di sini. Namun kami kembali terbentur kendala bahasa. Rasanya ingin sekali banyak nanya sama okā-san (baca: okaa-sang, sebutan ibu dalam bahasa Jepang), tapi karena okā-san nggak bisa berbahasa Inggris, jadilah saya (dan teman-teman juga mungkin) bingung mau ngomong apa, hahaha. Tapi grup saya beruntung dengan keberadaan Cynthia, karena ia fasih berbahasa Jepang.

Beres acara di gedung tersebut, kami pun berpisah sementara dengan teman-teman lainnya yang sudah bergabung juga dengan keluarga angkatnya. Saya dan teman satu kelompok mengikuti okā-san menaiki mobilnya. Kami pun berangkat menuju rumah okā-san!


Sampai sekarang saya nggak hapal jalur menuju rumah okā-san, karena kawasannya di sana cukup luas, udah gitu banyak belokannya. Mobil okā-san kemudian mengarah ke sebuah tempat yang agak cukup dalam bila hendak menuju jalan utama. Mobil pun berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar. Ah, ini pasti rumahnya okā-san. Setelah kami turun, kami tidak diajak masuk ke rumah tersebut, tetapi.... ke rumah di belakangnya!

Ini yang bikin takjub, karena setelah rumah okā-san, ada lagi rumah berupa penginapan dan rumah kayu. Di depannya? Wih, halaman luaaaas banget kayak bukit di program anak zaman baheula "Telletubies" plus ada sawah di sana. Saya sendiri bengong plus takjub ngeliatnya, hahaha. Bayangin, halaman seluas itu 'milik' keluarga okā-san! Di ujung bukit itu ada juga dua rumah kayu yang asik banget buat duduk santai.

Saat masuk ke rumah tempat kami menginap, saya suka banget sama desain interiornya. Rumah kayu ini sangat homey. Setelah menaruh tas dan segala macam bawaan, kami kemudian diajak oleh okā-san menuju rumah kayu yang berada di atas bukit. Di sana, kami berfoto bersama sambil menikmati hembusan angin sore yang sangat sejuk...





Saat kami semua berada di atas bukit, otō-san (baca: otoo-sang, sebutan ayah dalam bahasa Jepang) akhirnya datang menyusul. Akhirnya lengkap sudah kami menemui keluarga Sasaki. Jadi otō-san dan okā-san memang tinggal berdua saja saat ini, karena ketiga anaknya sudah berkeluarga dan tinggal di tempat terpisah. Berarti selama dua hari ke depan, kami berenam bakal menemani dan membantu okā-san dan otō-san di rumah, hehehe.

Langit tampak makin gelap, kami pun kembali ke rumah. Ternyata okā-san akan menyiapkan salah satu hidangan khas Jepang yakni nabemono atau nabe. Nabe ini berupa hidangan yang disajikan di pot berupa kuah kaldu yang kemudian diisi beragam makanan; biasanya sayur, jamur, mie, hingga daging. Pastinya kami semua membantu okā-san untuk menyiapkan nabe. Di sinilah kami mulai belajar seperti apa sih keseharian warga Jepang asli; kali ini tentang masak-memasak, menghidangkan makanan, sampai belajar tata krama saat makan.



Itadakimasu! Selamat makan!

Nabe hasil racikan kami berenam bersama okā-san pun siap disantap. Pot nabe-nya ditaruh di atas tungku api yang terletak di tengah-tengah meja makan. Jadi kami berenam, okā-san dan otō-san duduk saling berhadapan sehingga kami bisa berinteraksi dengan mudah. Makan malam kali itu sangat beragam; nabe, buah-buahan, tempura, dan beberapa minuman tersaji di meja. Nggak jauh berbeda dengan kebiasaan di Indonesia, tentunya masyarakat di sini juga terbiasa dengan pangan nasi; nabe kami santap bersama dengan nasi putih.

Beres melahap nabe, kami semua pun mulai bercakap-cakap. Ini salah satu momen yang sangat berkesan, karena di sini kami semua bercerita tentang keluarga kami di Indonesia kepada otō-san dan okā-san, hingga menunjukkan foto-fotonya. Pastinya perbincangan seperti ini menjadi salah satu upaya mendekatkan diri dengan keluarga angkat kami di sini.

That day was so delightful. I couldn't wait for the next day, spending the whole day with okā-san and otō-san!



Share
Tweet
Pin
Share
No comments

9 Oktober 2014
Akita, Prefektur Akita

Ini hari perdana saya dan teman-teman memulai aktivitas di Akita. Pagi hari, kami menghadiri pidato dari Direktur Bagian Penerimaan Surat Pembaca Akita Sakigake Shinpo, Abumi Takachiyo di Akita City Cultural Hall. Akita Sakigake Shinpo ini adalah koran lokal yang beredar di wilayah Akita dan sangat dikenal di sana. Bahkan koran ini sudah berdiri sejak tahun 1874.

Takachiyo-san menceritakan tentang sejarah koran di Jepang serta seperti apa perkembangan Sakigake Shinpo khususnya di Akita. Tapi di sini saya dan teman-teman sebagai audiens juga diberi kesempatan untuk bertanya terkait topik yang dibicarakan.


Oh iya, selama berada di Jepang, saya dan teman-teman didampingi oleh pendamping grup. Selain menjadi interpreter, mereka lah yang berperan banyak mendampingi kami semua selama berada di sana. Grup C didampingi oleh Kawanishi-san dan Kajiya-san. Keduanya asli dari Jepang, tapi lancar ngomong bahasa Indonesia lho. Mereka juga baik banget. Saya ngerasain selama di sana, mereka bener-bener ngebantu kalau ada apa-apa.

Usai menyimak pidato, rombongan kami akan berangkat menuju tujuan berikut. Nah sebelumnya saya bilang kalau kami dipecah lagi ke dalam empat grup besar. Empat grup ini akan berpencar menuju stasiun televisi yang ada di Akita. Kebetulan grup saya, grup C akan menuju stasiun televisi Akita Asahi Broadcasting (AAB).



Akita Asahi Broadcasting (AAB)

Di sini, saya dan teman-teman diajak untuk berkeliling di studio siaran dan beberapa ruangan terkait proses siaran televisi di stasiun ini. Meskipun tergolong lokal, saya ngelihatnya sih peralatan di sini canggih-canggih. Saat berada di control room, kami sempat diberi kesempatan untuk mencoba mengetes bagaimana memilih gambar dari tiga kamera yang berada di studio. Selain itu kami juga sempat mencoba mengontrol kamera milik AAB yang terletak di bukit, lho!

Setelah mendatangi ruangan-ruangan tersebut, kami kemudian bertemu dengan salah seorang news anchor untuk AAB. Di sana, kami diberi kesempatan untuk bertanya apapun, misalnya tentang seperti apa target dan program-program mereka.




Villa Floral

Waktunya makan siang! Empat grup besar ini kembali bersatu. Sambil membawa suvenir lucu dari AAB, saya beserta grup lainnya kemudian bergegas untuk pergi makan siang. Tapi kali ini berbeda dari biasanya; ada pertemuan khusus sambil makan siang.

Kami semua mendatangi Villa Floral. Suasananya indah banget, bahkan bentuk vilanya pun unik. Ternyata, kami akan makan siang bareng mahasiswa dari Akita International University. Sambil makan siang, kami bisa ngobrol-ngobrol atau sharing apapun. Mahasiswanya pun berasal dari berbagai negara. Kebetulan saya dan beberapa teman satu meja bertemu dengan mahasiswa asal Jepang dan Taiwan.



Akita International University (AIU)

Para mahasiswa perwakilan Akita International University sudah mendatangi kami untuk makan siang. Nah sekarang giliran kami berkunjung ke kampus mereka. Begitu nyampe di sana, saya takjub lihat kampusnya. Sebelum berangkat, saya sempet browsing seperti apa sih AIU. Tapi saat lihat langsung pasti kesannya lebih terasa. Saya nggak sabar ingin lihat perpustakaannya, karena bangunannya keren banget.

Saya dan teman-teman mengikuti tur keliling kampus. Kami menjelajahi tiap bangunan yang ada di sana. Oh iya, kami juga sempat ikut pertemuan di sebuah aula, mendengar speech dari perwakilan AIU.

Akhirnya saya dapat kesempatan mengunjungi perpustakaan AIU. Ruangannya besar, dan saya nggak tahan lihat rak-rak bukunya; rapi banget! Perpustakaan ini cukup lapang, ruangannya besar dan langit-
langitnya pun kelihatan megah.



Bagi saya, hari ini menyenangkan. Ini kali keduanya saya bisa ikut "ngubek" stasiun televisi untuk melihat dapur pembuatan beragam program siaran mereka. Tentu melihat langsung seperti apa lokasi dan prosesnya menjadi nilai tambah untuk pengalaman. Selain itu saya juga bisa bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa di Jepang, yang pastinya bisa menambah lingkaran pertemanan saya.

Well maybe this seems so cheesy or most of you would say, "Yaelah biasa aja kali!", tapi di hari ini saya bener-bener seneng bisa ngerasain suasana musim gugur. Di berbagai tempat yang saya kunjungi, kebanyakan pohon-pohonnya sudah berwarna merah, kuning, jingga. Warna khas musim gugur. Kalau saya perhatikan belum terlalu banyak gugurnya, tapi warnanya itu lho, cantik banget. Berhubung di Indonesia cuma ada dua musim, ya harap maklum kalau saya seneng banget bisa ngerasain musim gugur di sini. It's too good to be true...


(To be continued...)




Share
Tweet
Pin
Share
No comments

14 Oktober 2014, 2:53 AM
Urayasu, Prefektur Chiba

Malam sudah sangat larut. Di salah satu kamar, saya sedang asyik ngobrol dengan teman-teman yang sebagian baru saya kenal dari program JENESYS 2.0. Kami terpaksa menghabiskan hari terakhir di hotel, karena waktu itu di wilayah Jepang sedang ada badai. Sebelumnya ada peringatan dari pihak panitia kalau kami tidak boleh pergi kemana-mana. Dari dalam kamar saya bisa melihat betapa kencangnya angin menyapu pohon sembari hujan mengiringi. Jadilah kami ngobrol segala macam sambil ngemil, sampai ada yang curhat.

Jam segitu masih belum istirahat. Padahal saya harus bangun jam 6 pagi, bersiap menuju bandara Narita. Tapi waktu itu saya berdalih kalau saya masih pengen nikmatin malam terakhir berada di sini. Di Jepang...

Share
Tweet
Pin
Share
2 comments

I met my father after he finished working in Bandung. I told him that I had finished my topic proposal for my thesis.

Then he said, "Don't forget to arrange what you're going to do next. Prepare yourself. After this, after you graduate soon, think about this: do you want to start working, or do you want to continue your study? Think about your next plan."

I know that he just reminded me. He didn't intend to push me so hard. I mean, he is always supporting me, no matter what I choose. He always gives me the rights to choose anything I want as long as I enjoy doing it.


I've already prepared my to-do-list after graduation (next year, Amen), such as where I want to work, what I want to do next. I guess I know my plan well and be ready for it.

But... I don't know, it felt different when my own father asked me that thing. I just had nothing to say and I suddenly didn't know what to do.

Well, what am I going to do after completing my study? Soon I'll earn my degree but what happen next?

What are you going to be then?

Are you ready for the most challenging part of your life, where you are fully in your own responsibility?

Is it good enough to make yourself satisfied?

Is it good enough to make your parents proud of you?

Is it good enough?

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
A sneak peek to my latest trip...
The whole story is coming soon.


Read the stories here:

Part 1

Part 2

Part 3


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Last but not least! Ini cerita saat malam terakhir stay di Singapura (Trip saya 4 hari 3 malam). Rencananya, di hari ketiga ini pula saya mau mendatangi tempat yang jaraknya berjauhan, makanya di itenerary day 3 lebih sedikit daftar tujuannya. Tapi di hari terakhir ini semua tempat tujuan bisa didatangi meskipun nggak semuanya bisa tereksplor oleh kami.

Day 3
Destinasi pertama yaitu China Town. Di sini ibu pengen jalan nyari oleh-oleh, saya juga pengen lihat China Town kayak gimana suasananya. Tapi sayang banget, saya cuma bisa jalan-jalan sedikit di sini (karena nggak sanggup jalan jauh), jadinya daerah ini nggak sempet keeksplor semuanya. Kami cuma numpang makan siang sama lihat-lihat bentar di pusat perbelanjaan dekat stasiun MRT-nya. Alhasil sedikit banget spot yang bisa saya foto.


Setelah itu, saya dan ibu memutuskan untuk langsung berangkat ke Sentosa Island. Di sana kami hanya ingin jalan-jalan dan lihat wahana yang ada di sana tanpa ke Universal Studio Singapore. Setelah nyambung 1 atau 2 stasiun MRT, tibalah kami di VivoCity Shopping Mall. Tempat ini ibaratnya jadi connector bagi wisatawan yang mau nyeberang ke Sentosa Island. Setahu saya ada beberapa cara untuk ke sana; jalan kaki, naik Cable Car (kayak gondola gitu), naik shuttle bus, taksi, atau naik Sentosa Express (semacam monorail train). 

Saya dan ibu memilih naik Sentosa Express saja. Karena tiket keretanya nggak termasuk tanggungan Singapore Tourist Pass (STP), kami harus beli tiketnya dari loket yang tersedia. Bagi yang punya Ez-Link card bisa masuk pake ini kok. Bermodalkan $8 berdua, kami bisa masuk ke Sentosa Island dan bebas ke mana saja (kecuali untuk atraksi atau wahana tertentu).



Kalau naik Sentosa Express, bakal ada 4 titik pemberhentian: Sentosa Station, Waterfront Station, Imbiah Station, Beach Station. Saya dan ibu mendatangi stasiun paling ujung lebih dulu, yaitu Beach Station. Yap, di sini ibaratnya kayak kompleknya pantai. Di sini tempatnya bagi wisatawan yang mau main air, berenang, main olahraga pantai, atau lainnya. Saya sempet mendatangi beberapa pantai, meskipun nggak pake acara main air atau nyebur di sana. Dari pantainya, saya bisa ngelihat banyak kapal tanker dari kejauhan. Pemandangan yang cukup unik kalo menurut saya.

Karena di sini modal utamanya jalan kaki untuk jelajah semua wahana, pastinya saya yang keder. Sempet istirahat saat jalan-jalan, saya cek kaki saya. Pantesan aja saya selama ini jalannya sakit luar biasa. Di telapak kaki sebelah kanan, di bagian yang keras (di bawah jari), ada lingkaran putih cukup besar di sana. Yak, kapalan. Ini nih biang keroknya. Mungkin karena saya jalan-jalannya pakai sepatu tertutup. Padahal sebelum-sebelumnya nggak pernah kayak gini, lho. Alhasil saya dan ibu keliling kawasan pantai pakai beach tram; enak, tinggal duduk dan lihat-lihat sekitar.

Beres dari kawasan pantai, kami pindah ke tempat berikut: Imbiah Station. Di sini tuh ada patung Merlion yang guedee banget (bahkan Merlion aslinya aja kalah gede), tulisan sentosa island yang unik, dan beberapa wahana berbayar. 



Nggak lama dari kawasan ini, saya dan ibu menuju lokasi terakhir; Waterfront Station. Di sinilah USS berada. Tapi kami di sini cuma lihat-lihat (dan duduk pastinya), sama foto di depan globe USS. Biar afdol aja pernah ke sana walaupun nggak main di dalamnya, hahaha.

Tapi di sini saya sempet nyicip salah satu snack yang dijual, yaitu popcorn Garrett. (As a big fan of popcorn, I should try all the popcorn from everywhere!) Untuk butter popcorn size medium seharga $5 lumayan buat saya, karena isinya ternyata banyak (ini saya makan sepanjang jalan dan baru abis pas di hotel lho). Udah gitu butter-nya itu lho, berasa banget! Lihat aja dari fotonya, kuning banget kan? 


Setelah puas ngubek-ngubek Sentosa Island (well, not really), saya dan ibu sempet lihat-lihat sebentar di VivoCity. Tapi habis itu langsung bergegas menuju destinasi berikutnya: Orchard Road! Lha kok ke sana lagi? Saya kepengen banget nyicip eskrim+roti di sana, hahaha! Rasanya nggak pol banget kalo belum nyobain langsung jajanan paling terkenal di sini. Tapi alasan lainnya sih saya dan ibu mau nangkring sebentar sebelun kami berangkat ke Singapore Flyer.

Kami rencananya mau naik SG Flyer saat malam nanti. Jadi saya bisa lihat nightview-nya SG dari ketinggian, plus hunting foto. Well, sempet was-was juga sih karena di kawasan Orchard Road udah kelihatan mendung. Takutnya di daerah SG Flyer mendung & gelap juga.

By the way... Akhirnya saya dapet eskrim+rotinya! Saya pilih eskrim rasa blueberry dan... enak banget! Mungkin nggak ada bedanya dengan eskrim lainnya ya, tapi saya suka aja sama eskrim yang satu ini, pake roti pula. Untuk eskrim+wafer harganya tetep $1, tapi kalo eskrim+roti sekarang harganya udah jadi $1.20 nih.


Sekitar pukul 5 sore, saya dan ibu berangkat ke SG Flyer. Seperti biasa, kami mengandalkan MRT. Setibanya di stasiun terdekat, kami harus jalan sedikit sampai akhirnya tiba di tempat tujuan. Ternyata pas nyampe di sana, cuacanya cukup cerah. Tapi waktu itu masih terang, jadinya nggak langsung masuk ke arena SG Flyer-nya.

Saya dan ibu duduk-duduk di pinggir sungai, sambil ambil foto dan lihat pemandangan di sekitar. Dari kejauhan saya bisa lihat suasana perkotaan SG yang kental dan bangunan yang ada di Gardens by The Bay. Di tempat yang saya duduki juga nggak jauh dari jalan yang biasa dipake untuk balap F1.



Kalau nggak salah, saya dan ibu masuk ke arena SG Flyer sekitar jam 7 malam. Pokoknya saat itu udah cukup gelap. Prosesnya nggak ribet saat masuk ke sini. Mungkin berhubung saya udah beli tiketnya dari jauh hari, jadinya cukup nunjukkin tiket yang di-print, petugas tinggal scan, dan kami bisa masuk langsung.

Ternyata sebelum masuk ke flyer-nya, kami harus melewati lorong dan 'museum' tentang sejarah dibangunnya atraksi wisata satu ini. Simulatornya keren lho btw, tapi saya nggak sempet foto karena buru-buru pengen masuk ke flyer-nya, hehehe. Terus di sini pengunjung sempet difoto oleh staf di sana dengan latar green screen.

Akhirnya kami tiba di ujung lorong, dan staf di sana membatasi pengunjung yang mengantri. Untuk satu flyer (mungkin ada istilah lain yang lebih tepat?), maksimal diisi oleh 8 orang. Pas banget, nggak lama saya di sana, saya dan ibu disuruh langsung masuk ke flyer yang sudah tersedia. Di dalam, kami bersama 4 anak muda dan 1 couple.



Flyer pun bergerak dengan sangaaaat lambat. Nggak berasa tapi lama-lama makin ke atas (ya iyalah!), mulai ninggalin tempat saya naik semula. Di sini saya mulai panik. Saya phobia ketinggian. Makin tinggi flyer-nya, saya makin diem, gemeteran, dan deg-degan. Saya nggak berani lihat ke bawah sama sekali. Bawaannya kayak mau jatuh aja rasanya. Pas jalan-jalan di dalem aja saya kayak orang yang lewatin pinggir jurang; jalan pelan, minggir terus, dan megangin pinggiran flyer-nya terus.

Tapi makin ke atas, saya makin nggak nyesel udah naik flyer ini. Iya, pas naik saya sempet nyesel karena takut banget sama ketinggiannya. Ternyata makin ke atas, view-nya makin oke!!

Biarkan foto-fotonya yang bercerita, karena saya sendiri pas lihat pemandangannya langsung cuma bisa diem, takjub, dan hening sendiri. Tapi abis itu motretin ibu saya juga sih, hahaha.





Yah bisa nilai sendiri lah view-nya kayak gimana. Kalo saya sendiri sih speechless. Sebagai orang yang doyan ngeliatin citylight atau cityview, pilihan yang satu ini bener-bener nggak mengecewakan. Ini salah satu opsi wisata yang oke bagi yang punya kegemaran serupa. 

Durasi naik flyer ini sekitar 30 menit dari awal masuk sampai turun. Yang pasti, titik the best saat naik flyer adalah ketika flyer yang saya naiki berada di ketinggian tertinggi & pemandangan kota SG kelihatan banget!




Beres naik flyer, saya dan ibu nyempetin jalan di sekitar Helix Bridge. Jembatan ini ternyata makin kece saat malam, karena lampu birunya yang bikin semarak. Di kawasan ini juga lagi cukup rame karena lagi ada pertandingan bola. Ah iya, di sini juga banyak yang suka hunting foto lho, terbukti dari beberapa orang yang nenteng tripod dan kamera ke mana-mana. Kayak foto di atas, itu salah satu view yang bisa didapet.

Ternyata di sini saya juga nemuin pedagang eskrim $1! Walopun udah nyobain sebelumnya, tetep aja saya gatel pengen beli lagi. Saya akhirnya nyicip eskrim rasa chocochip mint. Asli, yang ini juga enak banget.



Last Day: Day 4
Selesailah acara pelesiran saya dan ibu di SG. Karena bawaannya makin berat, kami memilih untuk langsung berangkat ke Changi Airport pukul 11 siang waktu setempat, 1 jam sebelum batas waktu checkout. Tujuannya yaitu biar bisa keliling di sana sekaligus makan siang. Nah, karena STP kami cuma berlaku 3 hari (which is pemakaian terakhir adalah kemaren), jadinya saya dan ibu beli tiket MRT langsung di stasiun. Dari Bugis ke Changi cuma $2.20 per orang.

Kayaknya udah jadi rahasia umum betapa besar dan megahnya Changi Airport. Nggak heran kalo dari pintu masuk MRT ke bandara lalu menuju loket check in pesawat saya itu ujung ke ujung banget, hahaha. Jaraknya emang lumayan, yah kayak La Piazza ke Mall Kelapa Gading 3 (yang tahu dan tinggal di Klp. Gading pasti paham). Bayangin aja, konter check in-nya panjang dan banyak banget.

Sebelum masuk ke ruang keberangkatan, saya ngurus dulu GST refund. Karena sudah di-approve oleh pihak Mustafa Center, saya sudah memegang struk+cap toko bersamaan dengan barcode-nya. Di konter yang ada di Changi, pertama kita tinggal pilih salah satu mesin, lalu ikuti instruksi yang ada. Jangan lupa siapkan paspor dan struk dari tokonya ya. Habis itu bakal dapet struk persetujuannya, jadi nanti di ruang keberangkatan tinggal antri dan tukar struknya dengan nominal uang yang sudah dicantumkan.

Di ruang tunggu keberangkatan, yang gede banget ini, saya dan ibu iseng lihat-lihat beberapa counter. Mulai dari barang dengan brand mahal sampe toko obat yang ada di mall di Jakarta, semua ada di sini. Saya sendiri pernah denger soal adanya sunflower garden di Changi, saya pun iseng ke lantai 3 (ninggalin ibu sendirian, maafkan anakmu ini ya).

Bayangkan, saat itu di SG lagi terik-teriknya, lalu saya keluar dari ruangan yang suhunya dingin. Mentereng banget!



Nggak jauh dari pintu menuju sunflower garden, saya ngeliat ada beberapa ruangan bagi yang mau nonton film, dengerin musik sendirian, nongkrong di kafe, atau main game online. Gile ye fasilitasnya. Itu semuanya free lho (kecuali kafe ya). Termasuk fasilitas yang satu ini, main PS4. Saya nyobain main lah, hahaha.


Karena terpisah dari ibu, saya pun mulai nyariin ibu. Ya bayangkan Changi yang gede banget, terus saya dan ibu saling cari. Mana lagi agak ruwet di sana. Setelah sempet nyerah nyari keberadaan ibu & kaki saya semakin menjadi-jadi sakitnya, saya nemu mesin pijat yang lagi nggak dipake. Udah deh, saya langsung sikat. Sambil ngehubungin ibu via WA, saya diam aja di sana biar lebih gampang ketemunya nanti.

Rasanya gimana? Pokoknya saya lega banget bisa nemu alat ini. Kaki sakit edan selama 4 hari bisa terobati sementara. Sekitar 45 menit kemudian, saya bisa menemukan ibu. Pantesan aja nggak ketemu, saya di dekat ruang keberangkatan pesawat saya, eh ibu ada di ujung tempat kami masuk semula.



Pukul setengah 6 waktu setempat, saya dan ibu bergegas untuk boarding. Pesawat kami berangkat pukul 18.10 waktu setempat dan kami tergolong mepet masuk ke pesawat.

Akhirnya beres sudah cerita saya menjelajahi negeri tetangga. Semoga nggak bosenin dan saya berharap bakal ada cerita jalan-jalan berikutnya. Selamat jalan-jalan dan liburan!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

The Writer

The Writer

Categories

travel Trip Experiences thought photography Solo Travel Spain Study

Popular Posts

  • Se...?
  • Is It Good Enough?
  • Making Itinerary for Your Trip

Instagram

@pspratiwi



Blog Archive

  • ►  2019 (1)
    • ►  October 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  December 2018 (2)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  May 2018 (1)
    • ►  February 2018 (1)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (8)
    • ►  November 2017 (1)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  April 2017 (2)
    • ►  March 2017 (1)
    • ►  February 2017 (1)
  • ►  2016 (11)
    • ►  December 2016 (2)
    • ►  July 2016 (1)
    • ►  May 2016 (1)
    • ►  April 2016 (5)
    • ►  January 2016 (2)
  • ▼  2015 (10)
    • ▼  December 2015 (2)
      • Hairvolution: Maintaining My Frizzy Curly Hair
      • JPN Last Part: Akita & Tokyo, Always On My Mind
    • ►  November 2015 (1)
      • JPN Part 3: Between Samurai & Homestay
    • ►  October 2015 (3)
      • JPN Part 2: It's Time for Akita!
      • JPN Part 1: Welcome to Japan!
      • Is It Good Enough?
    • ►  September 2015 (1)
      • Bali: An Unexpected Trip
    • ►  July 2015 (2)
      • Empat Hari Jelajah SG (Part 3 - End)
    • ►  June 2015 (1)
  • ►  2014 (4)
    • ►  December 2014 (3)
    • ►  October 2014 (1)
  • ►  2013 (5)
    • ►  November 2013 (2)
    • ►  March 2013 (1)
    • ►  January 2013 (2)
  • ►  2012 (12)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (2)
    • ►  August 2012 (1)
    • ►  May 2012 (4)
    • ►  February 2012 (4)
  • ►  2011 (16)
    • ►  November 2011 (3)
    • ►  October 2011 (1)
    • ►  August 2011 (4)
    • ►  July 2011 (1)
    • ►  June 2011 (3)
    • ►  April 2011 (2)
    • ►  March 2011 (2)
  • ►  2010 (4)
    • ►  December 2010 (3)
    • ►  September 2010 (1)
  • ►  2009 (1)
    • ►  December 2009 (1)

Created with by ThemeXpose