dreamsEventExperiencesjapanjenesysjournalJournalismMass MediaMy PhotographyMy Storymy tripoverseaspersonaltravelTrip
JPN Part 3: Between Samurai & Homestay
10 Oktober 2014
Prefektur Akita
Sambil packing, saya sebenarnya agak deg-degan begitu tahu agenda hari ini. Kami akan berkunjung ke sebuah kawasan historis di Akita yang terkenal akan samurainya. Tapi setelah itu, 97 peserta yang ikut bakal dipecah ke beberapa kelompok kecil untuk menginap di rumah warga setempat!
Jadi dalam program JENESYS 2.0, ada jadwal khusus yakni homestay. Kami akan tinggal selama dua hari bersama keluarga asli Jepang yang tinggal di Akita. Deg-degan karena bener-bener nggak kebayang seperti apa nanti saat homestay bersama keluarga baru ini. But today would be sooo interesting!
Kakunodate Bukeyashiki
Distrik Senboku, Prefektur Akita
Kedatangan kami di sini ternyata disambut oleh Walikota Senboku, Kadowaki Mituhiro. Ia pun sempat memberi pidato di awal kunjungan kami di Kakunodate Bukeyashiki, tepatnya di Kaba Craft Densho-kan, sekaligus menceritakan tentang pariwisata di wilayah pemerintahannya. Kebetulan walikota yang satu ini humoris, di sela-sela pidato (setelah diterjemahkan) pasti ada aja gelak tawa dari peserta yang hadir.
Ngomong-ngomong apa sih Kakunodate Bukeyashiki? Sayangnya pertanyaan saya yang satu ini belum terjawab karena setelah mengikuti pidato, kami harus makan siang dulu di tempat yang cukup jauh dari kawasan bersejarah ini. Barulah habis itu saya bisa mengikuti tur keliling Kakunodate Bukeyashiki.
Jadi dalam program JENESYS 2.0, ada jadwal khusus yakni homestay. Kami akan tinggal selama dua hari bersama keluarga asli Jepang yang tinggal di Akita. Deg-degan karena bener-bener nggak kebayang seperti apa nanti saat homestay bersama keluarga baru ini. But today would be sooo interesting!
Kakunodate Bukeyashiki
Distrik Senboku, Prefektur Akita
Kedatangan kami di sini ternyata disambut oleh Walikota Senboku, Kadowaki Mituhiro. Ia pun sempat memberi pidato di awal kunjungan kami di Kakunodate Bukeyashiki, tepatnya di Kaba Craft Densho-kan, sekaligus menceritakan tentang pariwisata di wilayah pemerintahannya. Kebetulan walikota yang satu ini humoris, di sela-sela pidato (setelah diterjemahkan) pasti ada aja gelak tawa dari peserta yang hadir.
Ngomong-ngomong apa sih Kakunodate Bukeyashiki? Sayangnya pertanyaan saya yang satu ini belum terjawab karena setelah mengikuti pidato, kami harus makan siang dulu di tempat yang cukup jauh dari kawasan bersejarah ini. Barulah habis itu saya bisa mengikuti tur keliling Kakunodate Bukeyashiki.
Perut sudah terisi, kami pun kembali ke Kakunodate Bukeyashiki. Saya bersama separuh grup C didampingi Kawanishi-san dan seorang pemandu wisata bersiap untuk mengobservasi kawasan ini. Kakunodate Bukeyashiki dikenal sebagai kawasan bersejarah karena ini adalah kompleks rumah para samurai.
Kakunodate menjadi salah satu kota kecil yang dijuluki "little Kyoto". Kota ini berdiri pada 1620, dipimpin oleh klan Satake pada zaman Edo . Biasanya pada awal September, kota ini mengadakan Festival Musim Gugur. Festival tersebut sudah berjalan selama lebih dari 350 tahun, lho.
Di kawasan ini tentunya akan mudah sekali melihat rumah-rumah samurai. Ada juga beberapa rumah samurai yang dijadikan museum, sehingga pengunjung bisa memasuki dan melihat ruangan yang ada di dalamnya. Tetapi memasuki sebagian rumah tersebut ada yang dipungut biaya, ada pula yang tidak perlu membayar alias gratis.
Beres mengelilingi Kakunodate Bukeyashiki, kami semua melanjutkan jadwal kegiatan berikutnya. Inilah saat-saat yang bikin deg-degan... Bertemu dengan keluarga homestay!
Saya nggak tahu persis di mana tempatnya, tapi saya dan teman-teman dibawa ke sebuah gedung untuk bertemu dengan keluarga homestay kami. Ketika masuk, kami melihat para keluarga sudah hadir dan duduk menanti. Rasanya campur aduk, nggak sabar pengen bergabung sekaligus penasaran dengan siapa saya bakalan tinggal.
Tentunya tinggal bersama keluarga asli Jepang menjadi tantangan tersendiri bagi kami, termasuk saya. Kendalanya tentu di bahasa, kebanyakan keluarga di sini tidak bisa berbahasa Inggris. Jadinya harus pintar-pintar berkomunikasi non-verbal, lebih banyak menggunakan bahasa tubuh. Namun saat orientasi kami dibagikan buku saku panduan bahasa Jepang, jadi setidaknya bisa sedikit terbantu.
Saya sendiri sebenarnya ada basic bahasa Jepang karena sewaktu SMA saya belajar bahasa ini. Tapi sekarang saya cuma hapal huruf hiragana dan katakana, serta percakapan paling basic, seperti sapaan, ucapan terima kasih, dan beberapa pertanyaan dasar lainnya. Selebihnya? Waduh bablas, nggak ngerti sama sekali.
Kembali ke gedung. Saya akhirnya menerima lembar berisikan informasi dasar keluarga yang nantinya akan menjadi keluarga angkat saya di sana. Saya juga mengetahui teman-teman yang akan tinggal bersama saya; Arina, Anggie, Rie, Cynthia, dan Shella. Kebetulan semuanya adalah teman satu grup dan sudah kenal cukup baik dengan mereka.
Kami pun berkumpul, bertanya-tanya siapa yang menjadi keluarga angkat kami. Ketika sebagian besar kelompok lain sudah bergabung dengan keluarganya, saya masih belum menemui mereka. Sambil menunggu, saya juga melihat ada keluarga lain yang membawakan karton bertuliskan ucapan selamat datang untuk anak-anak mereka. Wah suasana waktu itu cukup riuh, menggembirakan karena bisa berbaur dengan keluarga baru di sini.
Kemudian sesosok wanita paruh baya menghampiri kami. Ah, ternyata itu orangtua angkat kami! Saya dan teman-teman senang akhirnya bisa bertemu dengan orangtua angkat kami di sini. Namun kami kembali terbentur kendala bahasa. Rasanya ingin sekali banyak nanya sama okā-san (baca: okaa-sang, sebutan ibu dalam bahasa Jepang), tapi karena okā-san nggak bisa berbahasa Inggris, jadilah saya (dan teman-teman juga mungkin) bingung mau ngomong apa, hahaha. Tapi grup saya beruntung dengan keberadaan Cynthia, karena ia fasih berbahasa Jepang.
Beres acara di gedung tersebut, kami pun berpisah sementara dengan teman-teman lainnya yang sudah bergabung juga dengan keluarga angkatnya. Saya dan teman satu kelompok mengikuti okā-san menaiki mobilnya. Kami pun berangkat menuju rumah okā-san!
Sampai sekarang saya nggak hapal jalur menuju rumah okā-san, karena kawasannya di sana cukup luas, udah gitu banyak belokannya. Mobil okā-san kemudian mengarah ke sebuah tempat yang agak cukup dalam bila hendak menuju jalan utama. Mobil pun berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar. Ah, ini pasti rumahnya okā-san. Setelah kami turun, kami tidak diajak masuk ke rumah tersebut, tetapi.... ke rumah di belakangnya!
Ini yang bikin takjub, karena setelah rumah okā-san, ada lagi rumah berupa penginapan dan rumah kayu. Di depannya? Wih, halaman luaaaas banget kayak bukit di program anak zaman baheula "Telletubies" plus ada sawah di sana. Saya sendiri bengong plus takjub ngeliatnya, hahaha. Bayangin, halaman seluas itu 'milik' keluarga okā-san! Di ujung bukit itu ada juga dua rumah kayu yang asik banget buat duduk santai.
Saat masuk ke rumah tempat kami menginap, saya suka banget sama desain interiornya. Rumah kayu ini sangat homey. Setelah menaruh tas dan segala macam bawaan, kami kemudian diajak oleh okā-san menuju rumah kayu yang berada di atas bukit. Di sana, kami berfoto bersama sambil menikmati hembusan angin sore yang sangat sejuk...
Saat kami semua berada di atas bukit, otō-san (baca: otoo-sang, sebutan ayah dalam bahasa Jepang) akhirnya datang menyusul. Akhirnya lengkap sudah kami menemui keluarga Sasaki. Jadi otō-san dan okā-san memang tinggal berdua saja saat ini, karena ketiga anaknya sudah berkeluarga dan tinggal di tempat terpisah. Berarti selama dua hari ke depan, kami berenam bakal menemani dan membantu okā-san dan otō-san di rumah, hehehe.
Langit tampak makin gelap, kami pun kembali ke rumah. Ternyata okā-san akan menyiapkan salah satu hidangan khas Jepang yakni nabemono atau nabe. Nabe ini berupa hidangan yang disajikan di pot berupa kuah kaldu yang kemudian diisi beragam makanan; biasanya sayur, jamur, mie, hingga daging. Pastinya kami semua membantu okā-san untuk menyiapkan nabe. Di sinilah kami mulai belajar seperti apa sih keseharian warga Jepang asli; kali ini tentang masak-memasak, menghidangkan makanan, sampai belajar tata krama saat makan.
Itadakimasu! Selamat makan!
Nabe hasil racikan kami berenam bersama okā-san pun siap disantap. Pot nabe-nya ditaruh di atas tungku api yang terletak di tengah-tengah meja makan. Jadi kami berenam, okā-san dan otō-san duduk saling berhadapan sehingga kami bisa berinteraksi dengan mudah. Makan malam kali itu sangat beragam; nabe, buah-buahan, tempura, dan beberapa minuman tersaji di meja. Nggak jauh berbeda dengan kebiasaan di Indonesia, tentunya masyarakat di sini juga terbiasa dengan pangan nasi; nabe kami santap bersama dengan nasi putih.
Beres melahap nabe, kami semua pun mulai bercakap-cakap. Ini salah satu momen yang sangat berkesan, karena di sini kami semua bercerita tentang keluarga kami di Indonesia kepada otō-san dan okā-san, hingga menunjukkan foto-fotonya. Pastinya perbincangan seperti ini menjadi salah satu upaya mendekatkan diri dengan keluarga angkat kami di sini.
That day was so delightful. I couldn't wait for the next day, spending the whole day with okā-san and otō-san!
0 comments