• Home
  • About
  • Contact
Powered by Blogger.
facebook twitter instagram Email

Curlnology


Seperti yang pernah saya post sebelumnya (klik di sini), jadi mahasiswi ilmu komunikasi (ilkom) itu merupakan hal yang nggak terduga. Bermula ingin belajar DKV, eh banting setir ke ilkom. Sempet kepikiran apakah saya bisa melanjutkan keinginan besar untuk belajar desain grafis selama masa kuliah berlangsung.

Apparently, this alternative direction led me to one of the greatest experiences in my life.

Siapa bilang belajar komunikasi gampang? Uh huh, you got it wrong, pal. Ada banyak banget hal yang perlu dipahami untuk mendalami ilmu komunikasi. Even though I only learnt the basic, basic-nya itu justru cukup complicated lho. Mungkin bagi yang tidak mendalami komunikasi, akan jarang mendengar apa itu komunikasi intrapersonal, interpersonal, kelompok, massa, hingga budaya. Lalu ada juga pelajaran Ilmu Alamiah Dasar (IAD) dan Statistika Sosial, walaupun fakultas saya tergolong dalam fakultas humaniora. Bayangin, saya belajar lagi IPA dan matematika lho di bangku kuliah!

Istilah "We Can Not Not Communicate" dari Paul Watzlawick dan "Who Says What in Which Channel to Whom with What Effect" dari Harold Laswell pun sudah di luar kepala, saking keduanya merupakan bagian dari prinsip dasar ilmu komunikasi. Dua kalimat itu kalau dijabarkan bisa panjang, bahkan butuh satu semester untuk memahaminya; jadi jangan berharap saya akan menjelaskannya di sini karena ini bukan materi kuliah! Ini cuma curhatan di blog pribadi, hahahaha.

Lalu saya juga belajar lebih dalam tentang Bahasa Indonesia, Public Speaking, dan Fotografi. Nah untuk Public Speaking, ini jadi tantangan terbesar bagi saya karena saya bukanlah orang yang gemar berbicara di depan umum. Pastinya kalau bicara di depan umum saya gugup parah, ngomong jadi ngebut, dan merasa takut ada kejadian konyol! But hey, I'm a communication science student, and speaking is definitely one of the essential parts of communication. Ya saya mau nggak mau harus berani ngomong lebih banyak dong.

Fotografi? Ini nih mata kuliah yang membuka mata saya lebar-lebar soal bidang seni ini; sampai sekarang saya kerja sambilan jadi fotografer lepas. Pastinya saat pertama kali belajar fotografi, saya senang bukan main. Sejak SMA saya memang sering jadi 'tukang motret' entah di acara keluarga atau acara di sekolah. Akhirnya salah satu passion saya ini bisa semakin saya kembangkan ketika berada di bangku kuliah.

Itu baru di semester pertama. Semester kedua lebih rame lagi; mulai pengenalan tiga jurusan ilmu komunikasi dan materi perkuliahannya makin spesifik. Jadi di kampus saya (sampai angkatan 2012) program studi Ilmu Komunikasi dipecah lagi menjadi 3 jurusan: jurnalistik, hubungan masyarakat, dan manajemen komunikasi. Salah satunya akan dipilih sebelum semester 3 dimulai. Jadi mahasiswa ilkom akan terpecah ke jurusan masing-masing sesuai minat.

Yap, sesuai minat. Ini ibarat kata sampai lulus nanti jurusan yang dipilih bakal jadi 'jalan hidup' mahasiswa, di luar kemungkinan nanti setelah jadi sarjana mau bekerja sebagai apa. Makanya di sini mahasiswa harus berpikir sangat matang jurusan apa yang akan diambil pada tahun kedua.

Bagaimana dengan saya? Beruntung saya nggak mengalami masa krisis memilih jurusan karena sedari awal sudah memantapkan hati untuk bergabung dengan jurusan jurnalistik.

Di samping itu, ada lagi yang seru di semester 2: komunikasi lintas budaya! Nah ini nih salah satu mata kuliah paling menantang karena tugas akhirnya adalah membuat festival budaya! Di sini saya pernah cerita tentang gimana perjuangan mempersiapkan festival sampai akhirnya harus berpisah dengan teman-teman kelas Ilkom D. Kelas saya waktu itu mendapat negara Jerman (kelompok saya) dan Inggris.

Selama 1 tahun pertama saya juga berjumpa dengan teman-teman baru yang memiliki beragam karakter, pengalaman, dan sikap. Senang rasanya bisa sekelas dengan anak-anak Ilkom D yang rame dan seru! Kami sering main bareng, BBQ-an bareng di rumah Hiji, sampai jalan-jalan ke Bandung juga Kawah Putih. Satu hal yang paling saya nggak bisa lupakan, di saat saya sedang down parah saat semester 2 karena suatu hal, mereka men-support mental saya. Love you, Imbisilkom D!

Tuntas episode ilkom, saatnya beralih ke chapter berikutnya: jurusan jurnalistik.

Jurusan jurnalistik bersama jurusan lainnya pernah mengadakan presentasi di hadapan para mahasiswa sebelum memutuskan hendak ke mana mereka akan berlabuh di semester 3. Salah satu ciri khas jurusan jurnalistik tiap presentasi: bukannya promosi tapi malah membeberkan cerita seram dan keras tentang bagaimana sulitnya menjadi jurnalis, menghadapi model narasumber dari yang riweuh sampai berbahaya, dan gajinya yang tak seberapa.

Jadi jiper atau mundur? Saya sendiri nggak.

Nah, gimana ceritanya jadi mahasiswa jurnalistik selama beberapa semester ke depan ya?
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

11 Oktober 2014
Kakunodatemachi Nishinagano, Senboku, Prefektur Akita

Pagi hari, saya bersama teman-teman menyempatkan diri untuk jalan-jalan di sekitar rumah okā-san. Lagi-lagi saya speechless ngeliat suasana di sekitar rumah okā-san; luas banget dan bener-bener asri! Foto di atas terletak di belakang rumah dan di sana hanya ada bukit plus pepohonan yang cukup banyak. Dari sini akan tembus menuju rumah kayu yang berada di atas bukit (rumah kayu yang kami sambangi sore kemarin).

Nah, habis mengelilingi kawasan rumah oka-san, kami diajak jalan-jalan nih sama okā-san. Wah diajak pergi ke mana ya?

Pertama, kami diajak makan sushi! 


Saya pribadi suka banget makan sushi, dan penasaran pengen ngerasain makan di kedai sushi langsung di Jepang, hehehe. Kami berenam lalu dibawa ke sebuah kedai sushi (saya nggak inget persis di mana, tapi kalau nggak salah deket mall-nya Akita deh). Karena tempat duduknya terbatas, kami akhirya terpecah ke dua 'kubu'. Saya duduk bersama okā-san dan Arina. Nah di sini saya mencoba untuk ngobrol sama okā-san.

Saat mau milih menu sushi, saya sempet nanya ke okā-san, "Kore wa nan desuka?" Lalu dibalas dengan kalimat yang saya nggak pahami, hahaha. Tapi untungnya oka-san masih menjelaskan dengan gerak tubuh dan setidaknya saya masih paham dengan maksud okā-san. Sambil ngobrol, sambil makan sushi. Nggak berasa kami bertiga aja udah menghabiskan sekitar 18 piring! Temen-temen lain yang duduk di seberang langsung kaget karena tumpukan piringnya tinggi banget.

Nah di sini saya juga merasakan pengalaman yang berbeda terkait makan di kedai sushi. Di sini, orang Jepang memakan sushi nggak pakai sumpit, tapi langsung pakai tangan. Lalu kalau untuk penggunaan kecap asin, wasabi, dan bubuk cabai harus benar-benar terpakai semua; jangan sampai tersisa. 

Pelayanan di kedai ini juga unik lho. Nggak ada yang namanya waitress di sini; pesan sushi tinggal pilih di layar sentuh yang ada di tiap meja. Kalau sudah memilih, ada opsi apakah mau pakai wasabi di dalam sushi-nya atau nggak. Setelah itu, nunggu pesanan, sushi kemudian datang diantar oleh kereta mini! Nah, ada lagi nih, kalau di Indonesia saya seringnya minum ocha sudah jadi. Kalau di sini, ocha dibuat sendiri oleh konsumen. Bubuk teh hijau (ocha) sudah tersedia, lalu di meja ada keran air panas untuk menyeduh ocha.

Beres makan sushi, kami nggak langsung pulang. Sekarang kami mau berbelanja di swalayan, karena belanja karena malam ini kami berenam akan masak makanan khas Indonesia untuk okā-san dan otō-san!

Belanja sudah selesai, kami kembali ke rumah oka-san. Namun sebelumnya kami mampir ke sebuah toko perkakas yang cukup besar di sana karena okā-san harus membeli titipan otō-san. Setibanya di rumah, kami pun bersantai sejenak sebelum memulai masak. Rencananya, kami akan memasak salah satu makanan yakni sayur sop (Sisanya saya lupa, I'm so sorry!).

Dari sore sampai menjelang malam kami sibuk memasak karena masakan kami akan disajikan untuk makan malam. Semuanya dipersiapkan, dan kami menikmati waktu yang sangat menyenangkan bersama okā-san dan otō-san.

Setelah acara makan malam usai, kami berenam beberes meja makan dan dapur. Lalu saya baru sadar di sana ada CD tape di dekat dapur, dan di dalamnya ada CD The Carpenters.

[Play]

Mengalunlah lagu "(They Long to Be) Close to You", yang sangat berkesan bagi saya. Sambil duduk di kursi goyang, mendengarkan di malam terakhir kami menginap di rumah okā-san dan otō-san...

Why do birds suddenly appear, every time you are near?
Just like me, they long to be close to you.
Why do stars fall down from the sky, every time you walk by?
Just like me, they long to be close to you...



12 Oktober 2014
Kakunodatemachi Nishinagano, Senboku, Prefektur Akita

Pagi kembali tiba, kami harus dihadapi kenyataan bahwa kami akan meninggalkan rumah okā-san dan otō-san. Sebelumnya saya sempat jalan-jalan bersama Cynthia dan Rie ke rumah kayu satu lagi yang berada di depan rumah okā-san dan otō-san (dari posisi saya memotret foto di atas, masih harus naik bukit lagi).

Packing, check! Sarapan, check!

Saatnya berhadapan salah satu momen yang cukup membuat kami sedih: berpisah dengan okā-san, karena ia tidak bisa ikut mengantar kami ke tempat berkumpul seluruh peserta JENESYS. Kami akan pergi bersama otō-san. Tentunya kami nggak lupa untuk berfoto bersama sebelum berangkat.




Saya bersama okā-san dan otō-san serta anjing peliharaan mereka, Hana. Hana lucu banget, untungnya anjing ras Shiba ini nggak galak, hahaha. (PS: saya sebenarnya deg-degan banget deket-deket sama Hana, karena takut banget sama anjing!)

Kami kemudian bergegas menuju lokasi titik kumpul seluruh peserta JENESYS, yakni di Grandeaile Garden. Di sini kami akan makan siang sekaligus menyelenggarakan farewell party dengan seluruh keluarga homestay yang terlibat.

Suasananya sangat ramai, karena sepenglihatan saya setiap peserta sudah sangat dekat dengan keluarga angkatnya. Bahkan ada sesi semua peserta dan keluarga homestay nari bersama diiringi lagu khas Indonesia dan itu bener-bener seru lho! Nggak ketinggalan pula, salah satu keluarga dari Jepang juga memberikan persembahan berupa tarian sebelum acara ditutup.



Nah, ini nih, salah satu momen yang tadinya ceria banget langsung berubah drastis. Saatnya seluruh keluarga angkat berpamitan dan kembali ke rumah. Kebanyakan pada terharu, tapi ada juga yang nggak bisa membendung air matanya. Jujur saya sama temen-temen awalnya berusaha untuk tegar *halah*, eeeh tapi kalo otak sama perasaan lagi nggak sinkron, udah deh reaksi tubuh nggak bisa dibohongin. Mata saya berkaca-kaca sampai nggak sanggup liat otō-san, soalnya otō-san udah mau pulang...

"Arigatou gozaimasu!"

Saya bersama teman-teman membungkukkan badan (sambil menyembunyikan mata yang udah berkaca-kaca, hehe), sangat berterima kasih atas kekeluargaan dan keramahan yang kami dapat bersama otō-san dan oka-san di waktu yang sangat singkat tersebut. Walaupun baru kenal dua hari, tapi rasanya berat banget untuk berpisah dengan mereka. But the program must go on, right?



Semua keluarga homestay sudah pulang, kami pun melanjutkan program yang harus diikuti. Lalu kami akan menginap di Highland Hotel Shunjuan Sanso untuk stay selama semalam sebelum kembali ke Tokyo pagi harinya. Tetapi yang paling penting, di sini kami menggodok project akhir kelompok yang akan dipresentasikan esok hari di Tokyo.

Pastinya project ini harus dipersiapkan dengan matang karena akan dipresentasikan di hadapan para pejabat JICE selaku penyelenggara program ini. Kelompok saya waktu itu akhirnya memutuskan membuat video sekaligus speech yang menjelaskan tentang hasil kegiatan, pengetahuan, dan temuan lainnya yang diperoleh selama beberapa hari sebelumnya.

Proses brainstorming ide dari 25 orang di dalam satu kelompok ini memang nggak gampang. Output project bisa ditentukan dengan mudah, tapi menentukan apa kontennya yang butuh proses panjang. Sebenarnya separuh dari konten sudah dibahas saat masih menginap di Akita, tetapi di sini lah saatnya mematangkan konsepnya.

Usai makan malam sekitar pukul 7, ruang meeting yang sebelumnya kami gunakan ternyata tidak bisa dipakai lagi. Akhirnya kami pindah ke lobby hotel untuk mengerjakan video beserta konten speech-nya. Saya inget banget, kami mengerjakan project ini sampai pukul 2 pagi. Itu sampai lampu lobby dimatiin semua sama stafnya. Akhirnya kami ngerjain sambil gelap-gelapan, mana waktu itu saya yang bikin video-nya; mata rasanya jureng banget ngeliat monitor laptop berjam-jam, plus suasana lobby yang gelap.

Intermezzo: Saya bisa makin banyak ngobrol dengan teman-teman sekelompok sambil mengerjakan project akhir. Sambil cerita, sambil beresin project.

Lalu saat saya istirahat sebentar, iseng-iseng ke luar di depan lobby hotel; d-i-n-g-i-n banget! Kalau nggak salah itu suhunya 8 derajat Celcius. Makin malam memang makin dingin, apalagi Akita lokasinya udah di bumi belahan utara.

Mata sudah lelah, badan pun sudah rentek. Kami yang tersisa akhirnya bisa istirahat setelah project selesai. Bisa dibilang kami hanya punya waktu 4 jam untuk tidur karena pagi-pagi sudah harus bangun untuk bersiap kembali ke Tokyo...


13 Oktober 2014
Tazawako Station, Prefektur Akita

Sekitar pukul delapan pagi, cuaca tampak mendung. Ternyata berdasarkan ramalan cuaca, hari ini cuacanya kurang bagus. Saya mulanya mendengar hanya terjadi di Tokyo, tetapi ternyata Akita juga demikian. Saat kami berada di Stasiun Tazawako untuk menaiki shinkansen menuju Tokyo, anginnya berhembus sangat kencang. Awannya pun sangat gelap. Saya khawatir di Tokyo nanti akan lebih parah...


Setibanya di Stasiun Tokyo, suasana gelap dan mendung sangat mendominasi. Bahkan sudah mulai turun hujan. Saya bersama rombongan lalu berjalan kaki dari stasiun menuju tempat parkir bus untuk menyambangi lokasi berikutnya.

Tokyo Fashion Town Building pun menjadi lokasi kami mempresentasikan project akhir sebelum menyelesaikan program JENESYS 2.0 Mass Media and Broadcasting Batch 4. Arsitektur gedungnya modern sekali. Di sana kami makan siang dahulu sebelum memulai sesi presentasi.

Fyuh, saatnya presentasi! Giliran presentasi ditentukan berdasarkan urutan grup. Saya tergabung dalam grup C, jadi kami akan maju di urutan ketiga. Waktu itu yang mewakili kelompok kami untuk memberikan speech adalah Shella, Billy, dan Firdha. Saya kebetulan menjadi operator untuk menyiapkan video yang sudah dibuat.


Presentasi akhirnya selesai! Acara pun ditutup dengan pemberian sertifikat kepada perwakilan kelompok serta sepatah kata dari perwakilan JICE. Kami tentunya senang bukan main, karena project akhir kami sudah rampung. Tapi tentunya ini menjadi pertanda bagi kami bahwa waktu kami di Tokyo tinggal satu hari lagi.

Saya bersama grup C pun berfoto bersama dengan pendamping grup kami yang sangaaat baik, yaitu Kawanishi-san dan Kajiya-san. Banyak momen seru dan kocak bersama mereka, dan tentunya kami pasti bakal clueless kalau nggak ada bantuan dari mereka.

Sayangnya, setelah sesi ini, Kajiya-san (yang rambutnya pendek, berdiri di tengah) akan berpisah dengan kami karena tugasnya sudah selesai. Selebihnya kami akan didampingi oleh Kawanishi-san yang sudah menemani kami semenjak hari pertama bertemu di hotel.

Usai meninggalkan Tokyo Fashion Town Building, seluruh rombongan mampir ke Daiei Shinurayasu dan MONA Shinurayasu, dengan tujuan makan malam serta membeli kebutuhan yang mungkin diperlukan saat pulang ke Jakarta. Setelah itu kami kembali ke hotel awal kami menginap, yakni Tokyo Emion Bay Hotel. Kami akan menghabiskan satu malam di sana sebelum berangkat ke Bandara Narita besok pagi. 

Too bad, badai melanda Tokyo malam ini, jadinya kami nggak diperbolehkan untuk keluar hotel...



Last Day
14 Oktober 2014
Bandara Internasional Tokyo Narita, Prefektur Chiba

I'm going to miss those moments in Japan. I'm going to miss those places I've visited.
Tokyo, Yokohama, Akita, oka-san, otō-san, Kajiya-san, Kawanishi-san,
everything.

6 sampai 14 Oktober 2014 akan menjadi hari yang sangat saya ingat. Hari-hari saya akhirnya meraih salah satu impian saya untuk menjajakan kaki di Jepang. Tak terhitung berapa banyak pengalaman dan cerita baru yang saya peroleh selama berada di sana. 

I am so grateful. Tanpa perjuangan apapun pasti saya nggak bakal bisa mendapat pencapaian seperti ini. Saya amat berterima kasih kepada pihak-pihak yang sudah membantu selama menjalani program ini, mulai dari kampus, orangtua, kawan-kawan di kampus, staf Kemeninfo, panitia JENESYS 2.0, hingga teman-teman baru yang saya temui.

Semoga saya mendapat kesempatan lagi untuk menjelajahi Jepang lebih luas dan lebih mendalam.

Akita & Tokyo, you're always on my mind.




Share
Tweet
Pin
Share
No comments

10 Oktober 2014
Prefektur Akita

Sambil packing, saya sebenarnya agak deg-degan begitu tahu agenda hari ini. Kami akan berkunjung ke sebuah kawasan historis di Akita yang terkenal akan samurainya. Tapi setelah itu, 97 peserta yang ikut bakal dipecah ke beberapa kelompok kecil untuk menginap di rumah warga setempat!

Jadi dalam program JENESYS 2.0, ada jadwal khusus yakni homestay. Kami akan tinggal selama dua hari bersama keluarga asli Jepang yang tinggal di Akita. Deg-degan karena bener-bener nggak kebayang seperti apa nanti saat homestay bersama keluarga baru ini. But today would be sooo interesting!




Kakunodate Bukeyashiki
Distrik Senboku, Prefektur Akita

Kedatangan kami di sini ternyata disambut oleh Walikota Senboku, Kadowaki Mituhiro. Ia pun sempat memberi pidato di awal kunjungan kami di Kakunodate Bukeyashiki, tepatnya di Kaba Craft Densho-kan, sekaligus menceritakan tentang pariwisata di wilayah pemerintahannya. Kebetulan walikota yang satu ini humoris, di sela-sela pidato (setelah diterjemahkan) pasti ada aja gelak tawa dari peserta yang hadir.

Ngomong-ngomong apa sih Kakunodate Bukeyashiki? Sayangnya pertanyaan saya yang satu ini belum terjawab karena setelah mengikuti pidato, kami harus makan siang dulu di tempat yang cukup jauh dari kawasan bersejarah ini. Barulah habis itu saya bisa mengikuti tur keliling Kakunodate Bukeyashiki.




Perut sudah terisi, kami pun kembali ke Kakunodate Bukeyashiki. Saya bersama separuh grup C didampingi Kawanishi-san dan seorang pemandu wisata bersiap untuk mengobservasi kawasan ini. Kakunodate Bukeyashiki dikenal sebagai kawasan bersejarah karena ini adalah kompleks rumah para samurai.

Kakunodate menjadi salah satu kota kecil yang dijuluki "little Kyoto". Kota ini berdiri pada 1620, dipimpin oleh klan Satake pada zaman Edo . Biasanya pada awal September, kota ini mengadakan Festival Musim Gugur. Festival tersebut sudah berjalan selama lebih dari 350 tahun, lho.

Di kawasan ini tentunya akan mudah sekali melihat rumah-rumah samurai. Ada juga beberapa rumah samurai yang dijadikan museum, sehingga pengunjung bisa memasuki dan melihat ruangan yang ada di dalamnya. Tetapi memasuki sebagian rumah tersebut ada yang dipungut biaya, ada pula yang tidak perlu membayar alias gratis.

Setiap rumah memiliki pintu gerbang dan atap pintu depan rumah. Nah pemandu kelompok saya waktu itu sempat menyebutkan kalau gerbang dan atap pintu tersebut bukan sekadar ornamen rumah saja, tetapi menunjukkan status sosial penghuni. Semakin megah dan besar gerbang dan atapnya, maka semakin tinggi 'pangkatnya'.


Beres mengelilingi Kakunodate Bukeyashiki, kami semua melanjutkan jadwal kegiatan berikutnya. Inilah saat-saat yang bikin deg-degan... Bertemu dengan keluarga homestay!

Saya nggak tahu persis di mana tempatnya, tapi saya dan teman-teman dibawa ke sebuah gedung untuk bertemu dengan keluarga homestay kami. Ketika masuk, kami melihat para keluarga sudah hadir dan duduk menanti. Rasanya campur aduk, nggak sabar pengen bergabung sekaligus penasaran dengan siapa saya bakalan tinggal.

Tentunya tinggal bersama keluarga asli Jepang menjadi tantangan tersendiri bagi kami, termasuk saya. Kendalanya tentu di bahasa, kebanyakan keluarga di sini tidak bisa berbahasa Inggris. Jadinya harus pintar-pintar berkomunikasi non-verbal, lebih banyak menggunakan bahasa tubuh. Namun saat orientasi kami dibagikan buku saku panduan bahasa Jepang, jadi setidaknya bisa sedikit terbantu.

Saya sendiri sebenarnya ada basic bahasa Jepang karena sewaktu SMA saya belajar bahasa ini. Tapi sekarang saya cuma hapal huruf hiragana dan katakana, serta percakapan paling basic, seperti sapaan, ucapan terima kasih, dan beberapa pertanyaan dasar lainnya. Selebihnya? Waduh bablas, nggak ngerti sama sekali.

Kembali ke gedung. Saya akhirnya menerima lembar berisikan informasi dasar keluarga yang nantinya akan menjadi keluarga angkat saya di sana. Saya juga mengetahui teman-teman yang akan tinggal bersama saya; Arina, Anggie, Rie, Cynthia, dan Shella. Kebetulan semuanya adalah teman satu grup dan sudah kenal cukup baik dengan mereka.

Kami pun berkumpul, bertanya-tanya siapa yang menjadi keluarga angkat kami. Ketika sebagian besar kelompok lain sudah bergabung dengan keluarganya, saya masih belum menemui mereka. Sambil menunggu, saya juga melihat ada keluarga lain yang membawakan karton bertuliskan ucapan selamat datang untuk anak-anak mereka. Wah suasana waktu itu cukup riuh, menggembirakan karena bisa berbaur dengan keluarga baru di sini.

Kemudian sesosok wanita paruh baya menghampiri kami. Ah, ternyata itu orangtua angkat kami! Saya dan teman-teman senang akhirnya bisa bertemu dengan orangtua angkat kami di sini. Namun kami kembali terbentur kendala bahasa. Rasanya ingin sekali banyak nanya sama okā-san (baca: okaa-sang, sebutan ibu dalam bahasa Jepang), tapi karena okā-san nggak bisa berbahasa Inggris, jadilah saya (dan teman-teman juga mungkin) bingung mau ngomong apa, hahaha. Tapi grup saya beruntung dengan keberadaan Cynthia, karena ia fasih berbahasa Jepang.

Beres acara di gedung tersebut, kami pun berpisah sementara dengan teman-teman lainnya yang sudah bergabung juga dengan keluarga angkatnya. Saya dan teman satu kelompok mengikuti okā-san menaiki mobilnya. Kami pun berangkat menuju rumah okā-san!


Sampai sekarang saya nggak hapal jalur menuju rumah okā-san, karena kawasannya di sana cukup luas, udah gitu banyak belokannya. Mobil okā-san kemudian mengarah ke sebuah tempat yang agak cukup dalam bila hendak menuju jalan utama. Mobil pun berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar. Ah, ini pasti rumahnya okā-san. Setelah kami turun, kami tidak diajak masuk ke rumah tersebut, tetapi.... ke rumah di belakangnya!

Ini yang bikin takjub, karena setelah rumah okā-san, ada lagi rumah berupa penginapan dan rumah kayu. Di depannya? Wih, halaman luaaaas banget kayak bukit di program anak zaman baheula "Telletubies" plus ada sawah di sana. Saya sendiri bengong plus takjub ngeliatnya, hahaha. Bayangin, halaman seluas itu 'milik' keluarga okā-san! Di ujung bukit itu ada juga dua rumah kayu yang asik banget buat duduk santai.

Saat masuk ke rumah tempat kami menginap, saya suka banget sama desain interiornya. Rumah kayu ini sangat homey. Setelah menaruh tas dan segala macam bawaan, kami kemudian diajak oleh okā-san menuju rumah kayu yang berada di atas bukit. Di sana, kami berfoto bersama sambil menikmati hembusan angin sore yang sangat sejuk...





Saat kami semua berada di atas bukit, otō-san (baca: otoo-sang, sebutan ayah dalam bahasa Jepang) akhirnya datang menyusul. Akhirnya lengkap sudah kami menemui keluarga Sasaki. Jadi otō-san dan okā-san memang tinggal berdua saja saat ini, karena ketiga anaknya sudah berkeluarga dan tinggal di tempat terpisah. Berarti selama dua hari ke depan, kami berenam bakal menemani dan membantu okā-san dan otō-san di rumah, hehehe.

Langit tampak makin gelap, kami pun kembali ke rumah. Ternyata okā-san akan menyiapkan salah satu hidangan khas Jepang yakni nabemono atau nabe. Nabe ini berupa hidangan yang disajikan di pot berupa kuah kaldu yang kemudian diisi beragam makanan; biasanya sayur, jamur, mie, hingga daging. Pastinya kami semua membantu okā-san untuk menyiapkan nabe. Di sinilah kami mulai belajar seperti apa sih keseharian warga Jepang asli; kali ini tentang masak-memasak, menghidangkan makanan, sampai belajar tata krama saat makan.



Itadakimasu! Selamat makan!

Nabe hasil racikan kami berenam bersama okā-san pun siap disantap. Pot nabe-nya ditaruh di atas tungku api yang terletak di tengah-tengah meja makan. Jadi kami berenam, okā-san dan otō-san duduk saling berhadapan sehingga kami bisa berinteraksi dengan mudah. Makan malam kali itu sangat beragam; nabe, buah-buahan, tempura, dan beberapa minuman tersaji di meja. Nggak jauh berbeda dengan kebiasaan di Indonesia, tentunya masyarakat di sini juga terbiasa dengan pangan nasi; nabe kami santap bersama dengan nasi putih.

Beres melahap nabe, kami semua pun mulai bercakap-cakap. Ini salah satu momen yang sangat berkesan, karena di sini kami semua bercerita tentang keluarga kami di Indonesia kepada otō-san dan okā-san, hingga menunjukkan foto-fotonya. Pastinya perbincangan seperti ini menjadi salah satu upaya mendekatkan diri dengan keluarga angkat kami di sini.

That day was so delightful. I couldn't wait for the next day, spending the whole day with okā-san and otō-san!



Share
Tweet
Pin
Share
No comments

9 Oktober 2014
Akita, Prefektur Akita

Ini hari perdana saya dan teman-teman memulai aktivitas di Akita. Pagi hari, kami menghadiri pidato dari Direktur Bagian Penerimaan Surat Pembaca Akita Sakigake Shinpo, Abumi Takachiyo di Akita City Cultural Hall. Akita Sakigake Shinpo ini adalah koran lokal yang beredar di wilayah Akita dan sangat dikenal di sana. Bahkan koran ini sudah berdiri sejak tahun 1874.

Takachiyo-san menceritakan tentang sejarah koran di Jepang serta seperti apa perkembangan Sakigake Shinpo khususnya di Akita. Tapi di sini saya dan teman-teman sebagai audiens juga diberi kesempatan untuk bertanya terkait topik yang dibicarakan.


Oh iya, selama berada di Jepang, saya dan teman-teman didampingi oleh pendamping grup. Selain menjadi interpreter, mereka lah yang berperan banyak mendampingi kami semua selama berada di sana. Grup C didampingi oleh Kawanishi-san dan Kajiya-san. Keduanya asli dari Jepang, tapi lancar ngomong bahasa Indonesia lho. Mereka juga baik banget. Saya ngerasain selama di sana, mereka bener-bener ngebantu kalau ada apa-apa.

Usai menyimak pidato, rombongan kami akan berangkat menuju tujuan berikut. Nah sebelumnya saya bilang kalau kami dipecah lagi ke dalam empat grup besar. Empat grup ini akan berpencar menuju stasiun televisi yang ada di Akita. Kebetulan grup saya, grup C akan menuju stasiun televisi Akita Asahi Broadcasting (AAB).



Akita Asahi Broadcasting (AAB)

Di sini, saya dan teman-teman diajak untuk berkeliling di studio siaran dan beberapa ruangan terkait proses siaran televisi di stasiun ini. Meskipun tergolong lokal, saya ngelihatnya sih peralatan di sini canggih-canggih. Saat berada di control room, kami sempat diberi kesempatan untuk mencoba mengetes bagaimana memilih gambar dari tiga kamera yang berada di studio. Selain itu kami juga sempat mencoba mengontrol kamera milik AAB yang terletak di bukit, lho!

Setelah mendatangi ruangan-ruangan tersebut, kami kemudian bertemu dengan salah seorang news anchor untuk AAB. Di sana, kami diberi kesempatan untuk bertanya apapun, misalnya tentang seperti apa target dan program-program mereka.




Villa Floral

Waktunya makan siang! Empat grup besar ini kembali bersatu. Sambil membawa suvenir lucu dari AAB, saya beserta grup lainnya kemudian bergegas untuk pergi makan siang. Tapi kali ini berbeda dari biasanya; ada pertemuan khusus sambil makan siang.

Kami semua mendatangi Villa Floral. Suasananya indah banget, bahkan bentuk vilanya pun unik. Ternyata, kami akan makan siang bareng mahasiswa dari Akita International University. Sambil makan siang, kami bisa ngobrol-ngobrol atau sharing apapun. Mahasiswanya pun berasal dari berbagai negara. Kebetulan saya dan beberapa teman satu meja bertemu dengan mahasiswa asal Jepang dan Taiwan.



Akita International University (AIU)

Para mahasiswa perwakilan Akita International University sudah mendatangi kami untuk makan siang. Nah sekarang giliran kami berkunjung ke kampus mereka. Begitu nyampe di sana, saya takjub lihat kampusnya. Sebelum berangkat, saya sempet browsing seperti apa sih AIU. Tapi saat lihat langsung pasti kesannya lebih terasa. Saya nggak sabar ingin lihat perpustakaannya, karena bangunannya keren banget.

Saya dan teman-teman mengikuti tur keliling kampus. Kami menjelajahi tiap bangunan yang ada di sana. Oh iya, kami juga sempat ikut pertemuan di sebuah aula, mendengar speech dari perwakilan AIU.

Akhirnya saya dapat kesempatan mengunjungi perpustakaan AIU. Ruangannya besar, dan saya nggak tahan lihat rak-rak bukunya; rapi banget! Perpustakaan ini cukup lapang, ruangannya besar dan langit-
langitnya pun kelihatan megah.



Bagi saya, hari ini menyenangkan. Ini kali keduanya saya bisa ikut "ngubek" stasiun televisi untuk melihat dapur pembuatan beragam program siaran mereka. Tentu melihat langsung seperti apa lokasi dan prosesnya menjadi nilai tambah untuk pengalaman. Selain itu saya juga bisa bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa di Jepang, yang pastinya bisa menambah lingkaran pertemanan saya.

Well maybe this seems so cheesy or most of you would say, "Yaelah biasa aja kali!", tapi di hari ini saya bener-bener seneng bisa ngerasain suasana musim gugur. Di berbagai tempat yang saya kunjungi, kebanyakan pohon-pohonnya sudah berwarna merah, kuning, jingga. Warna khas musim gugur. Kalau saya perhatikan belum terlalu banyak gugurnya, tapi warnanya itu lho, cantik banget. Berhubung di Indonesia cuma ada dua musim, ya harap maklum kalau saya seneng banget bisa ngerasain musim gugur di sini. It's too good to be true...


(To be continued...)




Share
Tweet
Pin
Share
No comments

14 Oktober 2014, 2:53 AM
Urayasu, Prefektur Chiba

Malam sudah sangat larut. Di salah satu kamar, saya sedang asyik ngobrol dengan teman-teman yang sebagian baru saya kenal dari program JENESYS 2.0. Kami terpaksa menghabiskan hari terakhir di hotel, karena waktu itu di wilayah Jepang sedang ada badai. Sebelumnya ada peringatan dari pihak panitia kalau kami tidak boleh pergi kemana-mana. Dari dalam kamar saya bisa melihat betapa kencangnya angin menyapu pohon sembari hujan mengiringi. Jadilah kami ngobrol segala macam sambil ngemil, sampai ada yang curhat.

Jam segitu masih belum istirahat. Padahal saya harus bangun jam 6 pagi, bersiap menuju bandara Narita. Tapi waktu itu saya berdalih kalau saya masih pengen nikmatin malam terakhir berada di sini. Di Jepang...

Share
Tweet
Pin
Share
2 comments
Older Posts

The Writer

The Writer

Categories

travel Trip Experiences thought photography Solo Travel Spain Study

Popular Posts

Instagram

@pspratiwi



Blog Archive

  • ▼  2019 (1)
    • ▼  October 2019 (1)
      • Accidentally Mixing Spanish & English!
  • ►  2018 (8)
    • ►  December 2018 (2)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  May 2018 (1)
    • ►  February 2018 (1)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (8)
    • ►  November 2017 (1)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  April 2017 (2)
    • ►  March 2017 (1)
    • ►  February 2017 (1)
  • ►  2016 (11)
    • ►  December 2016 (2)
    • ►  July 2016 (1)
    • ►  May 2016 (1)
    • ►  April 2016 (5)
    • ►  January 2016 (2)
  • ►  2015 (10)
    • ►  December 2015 (2)
    • ►  November 2015 (1)
    • ►  October 2015 (3)
    • ►  September 2015 (1)
    • ►  July 2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
  • ►  2014 (4)
    • ►  December 2014 (3)
    • ►  October 2014 (1)
  • ►  2013 (5)
    • ►  November 2013 (2)
    • ►  March 2013 (1)
    • ►  January 2013 (2)
  • ►  2012 (12)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (2)
    • ►  August 2012 (1)
    • ►  May 2012 (4)
    • ►  February 2012 (4)
  • ►  2011 (16)
    • ►  November 2011 (3)
    • ►  October 2011 (1)
    • ►  August 2011 (4)
    • ►  July 2011 (1)
    • ►  June 2011 (3)
    • ►  April 2011 (2)
    • ►  March 2011 (2)
  • ►  2010 (4)
    • ►  December 2010 (3)
    • ►  September 2010 (1)
  • ►  2009 (1)
    • ►  December 2009 (1)

Created with by ThemeXpose