Journal #01: We Cannot Not Communicate

by - 6:00 AM


Seperti yang pernah saya post sebelumnya (klik di sini), jadi mahasiswi ilmu komunikasi (ilkom) itu merupakan hal yang nggak terduga. Bermula ingin belajar DKV, eh banting setir ke ilkom. Sempet kepikiran apakah saya bisa melanjutkan keinginan besar untuk belajar desain grafis selama masa kuliah berlangsung.

Apparently, this alternative direction led me to one of the greatest experiences in my life.

Siapa bilang belajar komunikasi gampang? Uh huh, you got it wrong, pal. Ada banyak banget hal yang perlu dipahami untuk mendalami ilmu komunikasi. Even though I only learnt the basic, basic-nya itu justru cukup complicated lho. Mungkin bagi yang tidak mendalami komunikasi, akan jarang mendengar apa itu komunikasi intrapersonal, interpersonal, kelompok, massa, hingga budaya. Lalu ada juga pelajaran Ilmu Alamiah Dasar (IAD) dan Statistika Sosial, walaupun fakultas saya tergolong dalam fakultas humaniora. Bayangin, saya belajar lagi IPA dan matematika lho di bangku kuliah!

Istilah "We Can Not Not Communicate" dari Paul Watzlawick dan "Who Says What in Which Channel to Whom with What Effect" dari Harold Laswell pun sudah di luar kepala, saking keduanya merupakan bagian dari prinsip dasar ilmu komunikasi. Dua kalimat itu kalau dijabarkan bisa panjang, bahkan butuh satu semester untuk memahaminya; jadi jangan berharap saya akan menjelaskannya di sini karena ini bukan materi kuliah! Ini cuma curhatan di blog pribadi, hahahaha.

Lalu saya juga belajar lebih dalam tentang Bahasa Indonesia, Public Speaking, dan Fotografi. Nah untuk Public Speaking, ini jadi tantangan terbesar bagi saya karena saya bukanlah orang yang gemar berbicara di depan umum. Pastinya kalau bicara di depan umum saya gugup parah, ngomong jadi ngebut, dan merasa takut ada kejadian konyol! But hey, I'm a communication science student, and speaking is definitely one of the essential parts of communication. Ya saya mau nggak mau harus berani ngomong lebih banyak dong.

Fotografi? Ini nih mata kuliah yang membuka mata saya lebar-lebar soal bidang seni ini; sampai sekarang saya kerja sambilan jadi fotografer lepas. Pastinya saat pertama kali belajar fotografi, saya senang bukan main. Sejak SMA saya memang sering jadi 'tukang motret' entah di acara keluarga atau acara di sekolah. Akhirnya salah satu passion saya ini bisa semakin saya kembangkan ketika berada di bangku kuliah.

Itu baru di semester pertama. Semester kedua lebih rame lagi; mulai pengenalan tiga jurusan ilmu komunikasi dan materi perkuliahannya makin spesifik. Jadi di kampus saya (sampai angkatan 2012) program studi Ilmu Komunikasi dipecah lagi menjadi 3 jurusan: jurnalistik, hubungan masyarakat, dan manajemen komunikasi. Salah satunya akan dipilih sebelum semester 3 dimulai. Jadi mahasiswa ilkom akan terpecah ke jurusan masing-masing sesuai minat.

Yap, sesuai minat. Ini ibarat kata sampai lulus nanti jurusan yang dipilih bakal jadi 'jalan hidup' mahasiswa, di luar kemungkinan nanti setelah jadi sarjana mau bekerja sebagai apa. Makanya di sini mahasiswa harus berpikir sangat matang jurusan apa yang akan diambil pada tahun kedua.

Bagaimana dengan saya? Beruntung saya nggak mengalami masa krisis memilih jurusan karena sedari awal sudah memantapkan hati untuk bergabung dengan jurusan jurnalistik.

Di samping itu, ada lagi yang seru di semester 2: komunikasi lintas budaya! Nah ini nih salah satu mata kuliah paling menantang karena tugas akhirnya adalah membuat festival budaya! Di sini saya pernah cerita tentang gimana perjuangan mempersiapkan festival sampai akhirnya harus berpisah dengan teman-teman kelas Ilkom D. Kelas saya waktu itu mendapat negara Jerman (kelompok saya) dan Inggris.

Selama 1 tahun pertama saya juga berjumpa dengan teman-teman baru yang memiliki beragam karakter, pengalaman, dan sikap. Senang rasanya bisa sekelas dengan anak-anak Ilkom D yang rame dan seru! Kami sering main bareng, BBQ-an bareng di rumah Hiji, sampai jalan-jalan ke Bandung juga Kawah Putih. Satu hal yang paling saya nggak bisa lupakan, di saat saya sedang down parah saat semester 2 karena suatu hal, mereka men-support mental saya. Love you, Imbisilkom D!

Tuntas episode ilkom, saatnya beralih ke chapter berikutnya: jurusan jurnalistik.

Jurusan jurnalistik bersama jurusan lainnya pernah mengadakan presentasi di hadapan para mahasiswa sebelum memutuskan hendak ke mana mereka akan berlabuh di semester 3. Salah satu ciri khas jurusan jurnalistik tiap presentasi: bukannya promosi tapi malah membeberkan cerita seram dan keras tentang bagaimana sulitnya menjadi jurnalis, menghadapi model narasumber dari yang riweuh sampai berbahaya, dan gajinya yang tak seberapa.

Jadi jiper atau mundur? Saya sendiri nggak.

Nah, gimana ceritanya jadi mahasiswa jurnalistik selama beberapa semester ke depan ya?

You May Also Like

0 comments