Wawancara ‘Ajaib’ Bersama ...
Saat membaca sinopsis di cover belakang buku, saya tertarik untuk membeli buku itu. Memang, ketika melihat nama pengarangnya, saya belum begitu familiar. Ketika tahu ia lulusan dari mana, itu pula yang menjadi faktor saya tertarik pada buku itu. Saat itu saya masih SMA, jadi ada antusiasme tersendiri ketika mengetahui orang yang merupakan lulusan fakultas tujuan saya dulu. Saya masih ingat persis harga buku tersebut, yakni 27 ribu Rupiah. Buku itu menjadi satu-satunya buku yang saya beli waktu itu. Drunken Monster, itulah buku yang saya beli waktu itu, karangan Pidi Baiq.
Ketika saya membacanya, tanggapan pertama
pada buku itu adalah aneh. Saya masih belum terlalu paham ketika membacanya
sekali. Setelah dibaca dua kali, barulah saya paham. Isinya berupa cerita
sehari-hari penulis bersama teman-teman dan keluarganya. Anehnya, dilakukan
dengan cara yang tidak lazim dan beda dari yang lain. Saya pun tertarik untuk
membeli rangkaian buku selanjutnya, yaitu Drunken
Mama dan Drunken Marmut. Ternyata, Drunken Monster merupakan jilid pertama serial Drunken. Setelah itu, ada Drunken Molen, Drunken Mama, dan Drunken Marmut. Sayangnya,
susah sekali untuk mendapatkan buku Drunken
Molen. Saya sempat menyesal ketika menemukan bukunya —karena harganya 34
ribu Rupiah—, saya tidak jadi membeli. Ketika saya membaca buku Drunken Mama dan Drunken Marmut, saya ngakak begitu membaca cerita yang
‘ajaib’.
Tentang cerdas cermat ospek lah, tentang marmut bernama Galon dan
Termos lah, juga tentang penulis ngerjain temannya saat mau main ke rumahnya.
Melihat cover-nya saja,
sudah mengundang tawa: “COBALAH MANDIRI, bikin BONUS sendiri” (pojok kanan atas Drunken Mama), Drunken Mama—Keluarga Besar
Kisah-kisah Non Teladan, “Cicitan Harimau Pidi Baiq: Drunken Marmut”. Tapi, saya juga dapat mencerna
bagaimana penulis memaknai hidup melalui tulisannya. Ketika ia berbagi dengan
orang lain dengan memborong awug dan membagikannya gratis ke warga, atau ketika
ia memberi uang 50 ribu Rupiah kepada anak-anak yang sebelumnya disuruh nyanyi
di dalam kamar mandi. Pokoknya, kata yang terlontar dari saya setelah membaca
tiga buku itu: “edan!” Karena keunikan dan ‘keajaiban’ karyanya itulah,
saya menjadi salah satu penikmat dan pengagum karya dari sosok kelahiran
Bandung, 8 Agustus 1972 tersebut.
Dua minggu lalu, saya mendapat tugas mata kuliah Wawancara, yaitu
Praktik Lapangan (PL) 2; wawancara penulis. Sebenarnya penugasan baru dikasih
Selasa lalu, tapi untuk menghubungi
narasumber, rata-rata minggu sebelumnya
agar tidak mengulangi kesalahan di PL 1; terlalu mepet dan ada yang tidak
mendapat narasumber (meskipun waktu itu saya tergolong yang mendapat narasumber
dengan mudah). Dalam benak saya, nama yang pertama kali muncul dalam pikiran
saya adalah penulis buku Drunken tersebut, Surayah —kalau baca bukunya
pasti tahu— alias Pidi Baiq. Yah, bisa dibilang, bisa mewawancarai beliau
adalah salah satu mimpi saya. Saya memang penikmat karya beliau dan saya
‘terkesima’ dengan cara penulisan dan isi buku-bukunya. Saya juga penasaran,
ingin bertanya langsung, beneran nggak sih cerita-cerita di bukunya.
Apalagi, kalau membaca timeline
Twitter-nya, jawaban untuk followers yang bertanya pasti aneh-aneh.
Setelah pemberian tugas, saya langsung
mencari cara untuk menghubungi Surayah. Saya berniat menghubunginya lewat e-mail, tapi waktu itu saya
belum dapat. Berhubung Surayah juga follow saya di Twitter —Surayah memang suka mem-follow
follower-nya—, saya pun minta izin via mention dan Direct Message (DM), sekalian minta e-mail-nya.
Sempet was-was juga, karena saya takut Surayah tidak bisa atau tidak mau
diwawancara. Surayah akhirnya membalas mention saya dengan mencantumkan e-mail
dan.... password-nya. Saya
pun langsung kirim surat permohonan wawancara.
Sempet lama dibalas oleh beliau, eh
ternyata harus kirim ulang ke e-mail yang baru karena e-mail yang diberikan sebelumnya nggak bisa
dibuka; banyak orang yang mencoba membuka e-mail-nya
setelah dicantumkan password-nya.
Hahaha ada-ada aja. Saya kirim ulang, lalu mendapat respon yang cepat. Surayah
mengiyakan dan akan memberi kabar secepatnya. YES! Akhirnya saya mendapat
persetujuan dari Surayah. Sedikit lagi, saya bisa mewawancara bapak dua orang
anak tersebut. Senang? Pastinya! Alhamdulillah saya mendapat kemudahan untuk
mendapat narasumber pada dua PL ini.
Karena ‘pengetahuan’ saya tentang
Surayah masih perlu digali, saya pun melakukan riset melalui internet dan
membaca ulang buku Drunken
Mama dan Drunken Marmut, tetapi tidak
semuanya karena saya masih hapal beberapa cerita yang memang bikin saya ketawa. Surayah juga menerbitkan
beberapa buku setelah serial Drunken,
yaitu Al-Asbun Manfaatulngawur, Hanya Salju dan Pisau Batu,
S.P.B.U: Dongeng Sebelum Bangun, dan At-Twitter.
Saya mendapat buku S.P.B.U dengan mudah. Isinya berupa komik, tetapi uniknya
bukan Surayah yang menggambar. Berhubung harga Al-Asbun dan Hanya
Salju dan Pisau Batu kurang
‘ramah’ pada kantong saya sebagai mahasiswa, jadinya dua buku itu belum saya
miliki hingga saat ini, hehehe.
Nah, buku At-Twitter , buku terbaru Surayah, susah banget didapetin. Toko buku besar
depan Bandung Indah Plasa (BIP) aja tidak punya stok
bukunya. Akhirnya, saya harus meluncur ke sebuah mall besar yang baru berubah
nama, sambil menikmati rintikan hujan di perjalanan. Untungnya, saya mendapat
buku itu. Buku berisi kumpulan tweet berkategori itu saya ‘lahap’ dalam
sehari. Setelah mendapat berbagai referensi dan informasi baru, saya pun
menyusun pertanyaan. Rancangan pertanyaan pertama yang dikumpulkan ke dosen ada
30, itu pun belum ada riset tambahan. Pertanyaan pun makin beranak pinak
setelah riset dan pengumpulan informasi baru; 73 pertanyaan. Nggak kebayang bakal berapa lama saya
wawancara Surayah
Rabu, 21 November 2012, saya kembali
menghubungi Surayah untuk kepastian waktu wawancara. Awalnya mau hari itu juga
jam dua siang, tetapi saya salah mencantumkan range waktu (Rabu-Minggu), harusnya
Kamis-Minggu, karena Rabu saya harus berangkat ke Bandung untuk tugas
reportase. Akhirnya, Kamis pukul dua siang di sebuah tempat les di Jl. Anggrek,
Bandung, menjadi waktu pertemuan saya dengan Surayah. Deg-degan? Anehnya saya
mengalaminya, lho. Sempet
khawatir mendapat jawaban yang sama ‘ngaco’-nya seperti di buku, sempet
takut dikerjain juga, hahaha. Tapi, saya tetap
memberanikan diri untuk mewawancarai Surayah.
Hingga pada Kamis, 22
November....
Sepanjang perjalanan menuju Bandung,
saya ‘ditemani’ hujan yang cukup deras. Mengandalkan motor sewaan, saya
menerjang beberapa jalan yang mulai banjir dan hujan yang nggak mau berhenti. Saya aja pakai jas hujan
yang sekali pakai; yah,
memang nekat sih. Saya tiba di Bandung sekitar pukul setengah satu siang.
Karena masih belum tahu persis dimana lokasinya, saya coba mencari tempatnya
dulu sebelum jam pertemuan. Ah, ternyata aksesnya gampang sekali. Dari Jl. Riau
ke arah perempatan (pokoknya kalau belok kanan ke Kosambi di perempatan),
tinggal belok kiri. Sudah tenang karena tahu tempatnya dimana, saya pun
menyempatkan diri untuk keliling-keliling dan jajan sebentar, sembari
menyiapkan alat rekam untuk wawancara.
Saya pun berteduh di sebuah tempat di
Jl. Merdeka, menikmati teh, membaca daftar pertanyaan yang
saya buat, dan
menambah beberapa poin yang harus saya tanyakan pada Surayah. Saya juga sempat ngobrol dengan ibu dan bapak saya melalui
telepon dan bercerita tentang wawancara yang akan saya lakukan. Pukul 13.45
WIB, saya pun bergegas untuk berangkat ke lokasi wawancara. Saya memang sengaja
berangkat pukul segitu, agar tiba di sana tepat jam dua siang. Untungnya, saat
itu hujan berhenti, jadi saya nggak perlu memakai jas hujan berwarna biru muda ngejreng itu, hehehe.
Dari Jl. Merdeka, meluncur menuju Jl. Anggrek. Ketika melewati
tempatnya, saya masih dag dig
dug. Saya pun pura-pura lewat, lalu di taman dekat jalan tersebut, saya
putar balik dan kembali ke sana. Saya pun masuk dan memarkir motor. Tampak
seorang laki-laki memakai topi warna army,
memakai baju hitam sedang makan nasi kuning di meja depan bangunan, ditemani
seorang lelaki yang memakai seragam tempat les tersebut. JEDER!! Orang yang lagi makan nasi kuning itu
lah narasumber saya. Sempet percaya nggak percaya juga, karena baru parkir,
orangnya sudah standby.
Padahal, pas saya lewat pertama (yang pura-pura lewat), beliau belum ada lho!
“Tuh ‘kan bener
kang, yang nyariin,” itulah
kira-kira yang saya tangkap dari ucapan pria dari tempat les tersebut ketika
melihat saya tiba di sana.
Orang yang memakai topi pun ketawa-ketawa aja. Saya pun
menghampiri Surayah, lalu salam kepadanya. Permulaan ketemu? Ketawa. Asli. Cengar-cengir, sayanya jadi nggak jelas gara-gara nervous campur kaget, plus bingung! Saya pun memperkenalkan diri
dan menjelaskan tujuan wawancara saya. Saya pun menunggu Surayah menyelesaikan
makan dulu, tetapi beliau sempat menyuruh saya memulai wawancara sambil makan,
hahaha.
Saya mah bisanya ketawa-ketawa aja saat itu,
karena dari awal saja, sudah dibuka dengan canda dan tawa! Usai makan, Surayah
mengajak pindah lokasi; ke tempat duduk yang berada di dalam tempat les.
Suasananya seperti taman campuran kantin dan sepi, seperti itu kira-kira.
Sebelumnya, Surayah bilang kepada laki-laki yang tadi menemaninya, “San,
ambilin teh ***** yang paling dingin, biar dia makin kedinginan!” Saya
ketawa-ketawa aja, karena saya melihat langsung dan mengalami secuil keunikan & keisengan dari seorang Pidi Baiq.
Setelah itu, wawancara pun berlangsung. Alhamdulillah, saya mendapat jawaban serius juga,
hahaha. Meskipun banyak ketawanya juga, justru itu yang menjadi ‘bumbu’ dalam
wawancara. Banyak jawaban yang menurut saya unik, dan aneh bin ajaib; itulah
Pidi Baiq. Saya juga mendengar dari beliau sendiri kalau seluruh cerita di
serial Drunken, dari yang
ngerjain orang sampai borong awug, itu kisah nyata. Karena beliau sendiri yang
ngomong, saya pun percaya sambil masih nggak nyangka juga, hahaha. Banyak sekali
hal yang dibahas dalam wawancara tersebut; buku-buku, The Panasdalam, sastra,
keluarga, teman-teman, dan lainnya.
Saya masih tidak percaya bahwa laki-laki yang mayoritas fotonya nyengir lebar itu sedang duduk di hadapan
saya. Bahkan saya mendapat foto ketika beliau sedang nyengir; nyengir lebar yang sangat khas. Ada juga foto
muka serius beliau yang menurut saya jarang sekali melihatnya. Satu setengah
jam tidak terasa ketika wawancara tersebut berlangsung. Bahkan, itu tidak
sekedar wawancara bagi saya; seperti ajang bincang-bincang dengan penulis yang
saya kagumi karyanya dan saya habis-habisan bertanya tentang buku serial Drunken, S.P.B.U, hingga At-Twitter.
Pada akhir wawancara, saya sempat meminta buku-buku koleksi saya
ditandatangani beliau, hehehe. Yah, mumpung ketemu, kapan lagi? Setelah itu,
Erwin, vokalis The Panasdalam, datang. Ada juga Budi, bodyguard Surayah —begitulah Surayah
mengakuinya—. Tampaknya mereka ada keperluan dengan Surayah. Saya pun meminta
foto bersama Surayah —menjadi syarat untuk pengumpulan tugas juga—. Apakah
fotonya ‘waras’? Oh tentu tidak! Surayah berpose dengan mengacungkan kelingking
dan menjulurkan lidah. Setelah itu, Erwin sempat ikutan foto dengan gaya yang
sama —tanpa mengacungkan kelingking). Saya juga ikut mengacungkan kelingking
dan menjulurkan lidah, hehehe. Budi yang memotret saya, Surayah, dan Erwin.
0 comments