Wawancara ‘Ajaib’ Bersama ...

by - 1:09 PM

Tahun 2009, saya mengunjungi sebuah pameran buku di kawasan Senayan, Jakarta Selatan. Saat itu, saya melihat-lihat banyak sekali buku yang dijual dengan harga miring. Di sebuah stand buku, mata saya tertuju pada satu buku yang ilustrasinya aneh tapi unik. Warna dasarnya kuning, lalu pada cover depan, ada ilustrasi berupa monster dan dua orang duduk di sebuah sofa. Judulnya pun tidak seperti buku-buku ‘serius’.

Saat membaca sinopsis di cover belakang buku, saya tertarik untuk membeli buku itu. Memang, ketika melihat nama pengarangnya, saya belum begitu familiar. Ketika tahu ia lulusan dari mana, itu pula yang menjadi faktor saya tertarik pada buku itu. Saat itu saya masih SMA, jadi ada antusiasme tersendiri ketika mengetahui orang yang merupakan lulusan fakultas tujuan saya dulu. Saya masih ingat persis harga buku tersebut, yakni 27 ribu Rupiah. Buku itu menjadi satu-satunya buku yang saya beli waktu itu. Drunken Monster, itulah buku yang saya beli waktu itu, karangan Pidi Baiq.

Ketika saya membacanya, tanggapan pertama pada buku itu adalah aneh. Saya masih belum terlalu paham ketika membacanya sekali. Setelah dibaca dua kali, barulah saya paham. Isinya berupa cerita sehari-hari penulis bersama teman-teman dan keluarganya. Anehnya, dilakukan dengan cara yang tidak lazim dan beda dari yang lain. Saya pun tertarik untuk membeli rangkaian buku selanjutnya, yaitu Drunken Mama dan Drunken Marmut. Ternyata, Drunken Monster merupakan jilid pertama serial Drunken. Setelah itu, ada Drunken Molen, Drunken Mama, dan Drunken Marmut. Sayangnya, susah sekali untuk mendapatkan buku Drunken Molen. Saya sempat menyesal ketika menemukan bukunya —karena harganya 34 ribu Rupiah—, saya tidak jadi membeli. Ketika saya membaca buku Drunken Mama dan Drunken Marmut, saya ngakak begitu membaca cerita yang ‘ajaib’. 

Tentang cerdas cermat ospek lah, tentang marmut bernama Galon dan Termos lah, juga tentang penulis ngerjain temannya saat mau main ke rumahnya. Melihat cover-nya saja, sudah mengundang tawa: “COBALAH MANDIRI, bikin BONUS sendiri” (pojok kanan atas Drunken Mama), Drunken Mama—Keluarga Besar Kisah-kisah Non Teladan, “Cicitan Harimau Pidi Baiq: Drunken Marmut”.  Tapi, saya juga dapat mencerna bagaimana penulis memaknai hidup melalui tulisannya. Ketika ia berbagi dengan orang lain dengan memborong awug dan membagikannya gratis ke warga, atau ketika ia memberi uang 50 ribu Rupiah kepada anak-anak yang sebelumnya disuruh nyanyi di dalam kamar mandi. Pokoknya, kata yang terlontar dari saya setelah membaca tiga buku itu: “edan!” Karena keunikan dan ‘keajaiban’ karyanya itulah, saya menjadi salah satu penikmat dan pengagum karya dari sosok kelahiran Bandung, 8 Agustus 1972 tersebut.

Dua minggu lalu, saya mendapat tugas mata kuliah Wawancara, yaitu Praktik Lapangan (PL) 2; wawancara penulis. Sebenarnya penugasan baru dikasih Selasa lalu, tapi untuk menghubungi 
narasumber, rata-rata minggu sebelumnya agar tidak mengulangi kesalahan di PL 1; terlalu mepet dan ada yang tidak mendapat narasumber (meskipun waktu itu saya tergolong yang mendapat narasumber dengan mudah). Dalam benak saya, nama yang pertama kali muncul dalam pikiran saya adalah penulis buku Drunken tersebut, Surayah —kalau baca bukunya pasti tahu— alias Pidi Baiq. Yah, bisa dibilang, bisa mewawancarai beliau adalah salah satu mimpi saya. Saya memang penikmat karya beliau dan saya ‘terkesima’ dengan cara penulisan dan isi buku-bukunya. Saya juga penasaran, ingin bertanya langsung, beneran nggak sih cerita-cerita di bukunya. Apalagi, kalau membaca timeline Twitter-nya, jawaban untuk followers yang bertanya pasti aneh-aneh.

Setelah pemberian tugas, saya langsung mencari cara untuk menghubungi Surayah.  Saya berniat menghubunginya lewat e-mail, tapi waktu itu saya belum dapat. Berhubung Surayah juga follow saya di Twitter —Surayah memang suka mem-follow follower­-nya—, saya pun minta izin via mention dan Direct Message (DM), sekalian minta e-mail-nya. Sempet was-was juga, karena saya takut Surayah tidak bisa atau tidak mau diwawancara. Surayah akhirnya membalas mention saya dengan mencantumkan e-mail dan.... password-nya. Saya pun langsung kirim surat permohonan wawancara.

Sempet lama dibalas oleh beliau, eh ternyata harus kirim ulang ke e-mail yang baru karena e-mail yang diberikan sebelumnya nggak bisa dibuka; banyak orang yang mencoba membuka e-mail-nya setelah dicantumkan password-nya. Hahaha ada-ada aja. Saya kirim ulang, lalu mendapat respon yang cepat. Surayah mengiyakan dan akan memberi kabar secepatnya. YES! Akhirnya saya mendapat persetujuan dari Surayah. Sedikit lagi, saya bisa mewawancara bapak dua orang anak tersebut. Senang? Pastinya! Alhamdulillah saya mendapat kemudahan untuk mendapat narasumber pada dua PL ini.

Karena ‘pengetahuan’ saya tentang Surayah masih perlu digali, saya pun melakukan riset melalui internet dan membaca ulang buku Drunken Mama dan Drunken Marmut, tetapi tidak semuanya karena saya masih hapal beberapa cerita yang memang bikin saya ketawa. Surayah juga menerbitkan beberapa buku setelah serial Drunken, yaitu Al-Asbun Manfaatulngawur, Hanya Salju dan Pisau Batu, S.P.B.U: Dongeng Sebelum Bangun, dan At-Twitter. Saya mendapat buku S.P.B.U dengan mudah. Isinya berupa komik, tetapi uniknya bukan Surayah yang menggambar. Berhubung harga Al-Asbun dan Hanya Salju dan Pisau Batu kurang ‘ramah’ pada kantong saya sebagai mahasiswa, jadinya dua buku itu belum saya miliki hingga saat ini, hehehe.

Nah, buku At-Twitter , buku terbaru Surayah, susah banget didapetin. Toko buku besar depan Bandung Indah Plasa (BIP) aja tidak punya stok bukunya. Akhirnya, saya harus meluncur ke sebuah mall besar yang baru berubah nama, sambil menikmati rintikan hujan di perjalanan. Untungnya, saya mendapat buku itu. Buku berisi kumpulan tweet berkategori itu saya ‘lahap’ dalam sehari. Setelah mendapat berbagai referensi dan informasi baru, saya pun menyusun pertanyaan. Rancangan pertanyaan pertama yang dikumpulkan ke dosen ada 30, itu pun belum ada riset tambahan. Pertanyaan pun makin beranak pinak setelah riset dan pengumpulan informasi baru; 73 pertanyaan. Nggak kebayang bakal berapa lama saya wawancara Surayah

Rabu, 21 November 2012, saya kembali menghubungi Surayah untuk kepastian waktu wawancara. Awalnya mau hari itu juga jam dua siang, tetapi saya salah mencantumkan range waktu (Rabu-Minggu), harusnya Kamis-Minggu, karena Rabu saya harus berangkat ke Bandung untuk tugas reportase. Akhirnya, Kamis pukul dua siang di sebuah tempat les di Jl. Anggrek, Bandung, menjadi waktu pertemuan saya dengan Surayah. Deg-degan? Anehnya saya mengalaminya, lho. Sempet khawatir mendapat jawaban yang sama ‘ngaco’-nya seperti di buku, sempet takut dikerjain juga, hahaha. Tapi, saya tetap memberanikan diri untuk mewawancarai Surayah.

Hingga pada Kamis, 22 November....

Sepanjang perjalanan menuju Bandung, saya ‘ditemani’ hujan yang cukup deras. Mengandalkan motor sewaan, saya menerjang beberapa jalan yang mulai banjir dan hujan yang nggak mau berhenti. Saya aja pakai jas hujan yang sekali pakai; yah, memang nekat sih. Saya tiba di Bandung sekitar pukul setengah satu siang. Karena masih belum tahu persis dimana lokasinya, saya coba mencari tempatnya dulu sebelum jam pertemuan. Ah, ternyata aksesnya gampang sekali. Dari Jl. Riau ke arah perempatan (pokoknya kalau belok kanan ke Kosambi di perempatan), tinggal belok kiri. Sudah tenang karena tahu tempatnya dimana, saya pun menyempatkan diri untuk keliling-keliling dan jajan sebentar, sembari menyiapkan alat rekam untuk wawancara. 

Saya pun berteduh di sebuah tempat di Jl. Merdeka, menikmati teh, membaca daftar pertanyaan yang 
saya buat, dan menambah beberapa poin yang harus saya tanyakan pada Surayah. Saya juga sempat ngobrol dengan ibu dan bapak saya melalui telepon dan bercerita tentang wawancara yang akan saya lakukan. Pukul 13.45 WIB, saya pun bergegas untuk berangkat ke lokasi wawancara. Saya memang sengaja berangkat pukul segitu, agar tiba di sana tepat jam dua siang. Untungnya, saat itu hujan berhenti, jadi saya nggak perlu memakai jas hujan berwarna biru muda ngejreng itu, hehehe.

Dari Jl. Merdeka, meluncur menuju Jl. Anggrek. Ketika melewati tempatnya, saya masih dag dig dug. Saya pun pura-pura lewat, lalu di taman dekat jalan tersebut, saya putar balik dan kembali ke sana. Saya pun masuk dan memarkir motor. Tampak seorang laki-laki memakai topi warna army, memakai baju hitam sedang makan nasi kuning di meja depan bangunan, ditemani seorang lelaki yang memakai seragam tempat les tersebut. JEDER!! Orang yang lagi makan nasi kuning itu lah narasumber saya. Sempet percaya nggak percaya juga, karena baru parkir, orangnya sudah standby. Padahal, pas saya lewat pertama (yang pura-pura lewat), beliau belum ada lho!

“Tuh ‘kan bener kang, yang nyariin,” itulah kira-kira yang saya tangkap dari ucapan pria dari tempat les tersebut ketika melihat saya tiba di sana.

Orang yang memakai topi pun ketawa-ketawa aja. Saya pun menghampiri Surayah, lalu salam kepadanya. Permulaan ketemu? Ketawa. Asli. Cengar-cengir, sayanya jadi nggak jelas gara-gara nervous campur kaget, plus bingung! Saya pun memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan wawancara saya. Saya pun menunggu Surayah menyelesaikan makan dulu, tetapi beliau sempat menyuruh saya memulai wawancara sambil makan, hahaha.

Saya mah bisanya ketawa-ketawa aja saat itu, karena dari awal saja, sudah dibuka dengan canda dan tawa! Usai makan, Surayah mengajak pindah lokasi; ke tempat duduk yang berada di dalam tempat les. Suasananya seperti taman campuran kantin dan sepi, seperti itu kira-kira. Sebelumnya, Surayah bilang kepada laki-laki yang tadi menemaninya, “San, ambilin teh ***** yang paling dingin, biar dia makin kedinginan!” Saya ketawa-ketawa aja, karena saya melihat langsung dan mengalami secuil keunikan & keisengan dari seorang Pidi Baiq.

Setelah itu, wawancara pun berlangsung. Alhamdulillah, saya mendapat jawaban serius juga, hahaha. Meskipun banyak ketawanya juga, justru itu yang menjadi ‘bumbu’ dalam wawancara. Banyak jawaban yang menurut saya unik, dan aneh bin ajaib; itulah Pidi Baiq. Saya juga mendengar dari beliau sendiri kalau seluruh cerita di serial Drunken, dari yang ngerjain orang sampai borong awug, itu kisah nyata. Karena beliau sendiri yang ngomong, saya pun percaya sambil masih nggak nyangka juga, hahaha. Banyak sekali hal yang dibahas dalam wawancara tersebut; buku-buku, The Panasdalam, sastra, keluarga, teman-teman, dan lainnya. 

Saya masih tidak percaya bahwa laki-laki yang mayoritas fotonya nyengir lebar itu sedang duduk di hadapan saya. Bahkan saya mendapat foto ketika beliau sedang nyengir; nyengir lebar yang sangat khas. Ada juga foto muka serius beliau yang menurut saya jarang sekali melihatnya. Satu setengah jam tidak terasa ketika wawancara tersebut berlangsung. Bahkan, itu tidak sekedar wawancara bagi saya; seperti ajang bincang-bincang dengan penulis yang saya kagumi karyanya dan saya habis-habisan bertanya tentang buku serial Drunken, S.P.B.U, hingga At-Twitter.

Pada akhir wawancara, saya sempat meminta buku-buku koleksi saya ditandatangani beliau, hehehe. Yah, mumpung ketemu, kapan lagi? Setelah itu, Erwin, vokalis The Panasdalam, datang. Ada juga Budi, bodyguard Surayah —begitulah Surayah mengakuinya—. Tampaknya mereka ada keperluan dengan Surayah. Saya pun meminta foto bersama Surayah —menjadi syarat untuk pengumpulan tugas juga—. Apakah fotonya ‘waras’? Oh tentu tidak! Surayah berpose dengan mengacungkan kelingking dan menjulurkan lidah. Setelah itu, Erwin sempat ikutan foto dengan gaya yang sama —tanpa mengacungkan kelingking). Saya juga ikut mengacungkan kelingking dan menjulurkan lidah, hehehe. Budi yang memotret saya, Surayah, dan Erwin.


Tak lama kemudian, saya pun menghabiskan teh (sudah tidak) dingin yang disuguhkan. Saya baru sempat minum karena sedang serius berbincang dengan Surayah, hehehe. Setelah itu, saya diam sejenak dan pamit kepada Surayah, Erwin, dan Budi. Saya pun pulang dengan perasaan yang LEGAAAA dan senang. Salah satu mimpi saya bisa terwujud. Mimpi yang sederhana memang, tetapi itu sangat berarti buat saya. Mewawancarai penulis yang saya kagumi karyanya merupakan kebanggaan tersendiri. Lagipula, siapa sih yang nggak mau bertemu, apalagi berbincang dengan penulis favoritnya?

You May Also Like

0 comments