Perjalanan Menuju Tujuh Nada
Seperti biasa, saya sedang asyik berkelana di dunia internet pada sore itu. Selain memperhatikan timeline Twitter yang cukup ramai, terpampang pula laman akun Facebook pada tab sebelahnya. Ada satu momen dimana saya sedang membuka akun tersebut, muncul status dari sebuah event musik yang cukup membuat saya kaget. Akan ada tur yang memboyong tiga band indie yang namanya sudah tidak asing lagi, dan hanya diadakan di tiga kota. Bandung, Jogja, dan Denpasar menjadi tiga kota yang beruntung dapat disambangi oleh tiga band tersebut.
Ah, Bandung. Dekat sekali dengan tempat tinggal saya saat ini. Setelah itu, kegembiraan saya makin menjadi ketika melihat nama-nama band itu: Stars and Rabbit, Dialog Dini Hari, dan White Shoes & The Couples Company. Ini dia, event yang ditunggu-tunggu! Akhirnya band kesayangan saya akan tampil kembali di Kota (yang katanya) Kembang itu, setelah banyak sekali gigs mereka yang sudah saya lewatkan. Terakhir, saya melewatkan aksi mereka di Dia.Lo.Gue artspace Kemang, padahal gig itu merupakan gig perdana mereka usai tur di India. Setelah melihat status itu, saya sudah bertekad; harus datang!!! (Status yang dimaksud kini sudah tidak ada di page event tersebut, makanya saya tidak mencantumkan statusnya.)
Mulailah saya mencari kawan satu tujuan alias yang sama-sama ingin menyaksikan aksi ketiga band itu pada tanggal 6 Maret 2013 di Maja House, Bandung. Anehnya, saya ingin cari teman nonton tapi masih diam-diam saja. Hingga pada malamnya, seorang teman men-tag saya pada status si empunya acara itu. Got it! Ternyata saya tidak sendiri. Awalnya, saya masih belum tahu bagaimana memesan atau membeli tiket acara itu. Memang sebenarnya belum diumumkan, masih coming soon katanya. Tapi, publikasi acara itu sudah mulai di-posting. Sebuah poster dengan latar belakang putih, ditimpa dengan tulisan “Suara Tujuh Nada” yang bentuknya unik, serta ‘dekorasi’nya yang terkesan simple. Nama-nama band yang akan tampil pun dibingkai dengan ‘dekorasi’ bernuansa orange.
Selang satu atau dua hari, langsung diumumkan bagaimana cara memesan tiket. Beruntung sekali, di Bandung, tidak ada harga tiket masuk alias gratis. Hanya saja, bagi yang ingin datang harus reservasi secepatnya dengan mengirimkan e-mail kepada penyelenggara acara. Untung saja saya diberitahu langsung oleh teman saya, Abi, yang sama-sama mau datang ke acara itu. Langsunglah saya mengirim e-mail, mencantumkan dua nama yang akan datang pada acara itu. Pada pengumuman itu pula, disebutkan kalau satu e-mail hanya untuk reservasi dua orang. Keesokan harinya, saya mendapat konfirmasi dari pihak penyelenggara acara. Yeah, finally! Hati sudah bisa tenang, karena pada hari H saya tinggal datang ke lokasi.
Tanggal yang dinanti pun tiba. Setelah mengikuti dua rangkaian mata kuliah hingga siang hari, saya makin bersemangat untuk segera datang ke acara itu. Tidak hanya itu, ternyata ada dua teman saya, Reily dan Luna yang juga akan berangkat kesana. Pada publikasi, dicantumkan kalau acara akan dimulai pukul 19.00 WIB. Namun, saya tidak bisa berangkat satu jam sebelum acara dimulai. Jarak menjadi pertimbangan mengapa saya harus berangkat pukul 16.00 WIB. Bermodal motor sewaan, saya dan Abi berangkat menuju Maja House. Ya, Maja House memang tidak terletak persis di kota Bandung-nya. Dari Setiabudi, menuju arah Lembang. Konon katanya, lokasinya lumayan jauh. Yah, biarkan saja saya nanti merasakan sendiri ketika sudah tiba di sana.
Jatinangor−Bandung (kesananya lagi). Baru sampai Cileunyi, sudah menjumpai macet yang cukup parah. Sempat khawatir juga macetnya sampai di Bandung-nya. Apalagi, saat berangkat, cuaca mendung sudah mendominasi langit sore itu. Untungnya, setelah melewati fase was-was karena macet, perjalanan selanjutnya menuju Maja House cukup lancar. Saya dan Abi sebenarnya tidak tahu persis lokasi Maja House, hanya tahu alamatnya. Ketika sampai di Setiabudi, sempat menerka-nerka harus belok kemana, karena dari jalan utama harus masuk ke Jl. Sersan Bajuri (yang saat itu masih dipertanyakan keberadaannya oleh kami berdua). Kampus UPI dilewati, terminal Ledeng pun juga sudah dilewati.
Tak lama setelah itu, di sisi kiri jalan utama, terpampang plang Jl. Sersan Bajuri. Itu dia jalan yang dicari! Ternyata, itu masih permulaannya. Dari mulut jalan, ternyata jarak menuju tempat yang dituju itu jauh. Jauh, benar-benar jauh. Tidak bisa disebut lumayan jauh juga, karena jalanannya panjang, berkelok-kelok, dan ada beberapa jalan yang tidak mulus. Bahkan kami sempat menyangka apa jangan-jangan Maja House sudah terlewat. Ditambah pula dengan banyak tanjakan (karena menuju dataran tinggi), lengkap sudah perjuangan demi mencapai lokasi acara.
Namun, saat melewati tanjakan, saya melihat sibakan awan yang dibalut warna jingga, berasal dari matahari terbenam. Atap-atap rumah tampak seperti miniatur. Beberapa pohon tampak menjulang. Sudah tidak mendung ternyata. Saya amat takjub ketika melihatnya, karena pemandangan yang saya lihat memang tidak biasa. Jingga mendominasi langit kala itu, dan awan sedang bagus-bagusnya (Saya sulit mendeskripsikan bentuknya seperti apa, tapi memang saat itu sangat bagus!). Mau diabadikan, tapi sedang berkendara (saya dibonceng lebih tepatnya) dan ‘senjata’ saya (re: kamera) berada di dalam tas. Mungkin, saat itu memang cukup dinikmati saja oleh mata; dilihat sambil lalu.
Langit mulai gelap. Tempat yang dituju masih belum ditemukan. Was-was? Sudah pasti. Takut sudah terlewat jauh, atau bahkan salah jalan?? Tidak lama, tampak nama Maja House dengan latar merah dari sisi kiri jalan. Akhirnya, ketemu juga tempatnya! Akan tetapi, untuk masuk ke area bangunannya, harus melewati tanjakan (lagi). Sempat senang kalau parkirnya dekat di sana, eh ternyata, tempat parkir motor persis di pintu masuk yang masih rata. Alhasil, harus jalan menuju tempatnya! Ngos-ngosan? Lumayan. Tanjakannya memang tidak parah, tapi menuju tempatnya harus naik tangga yang cukup banyak. Beginilah efek dari jarang olahraga; ngos-ngosan sedikit langsung capek. Setelah menaiki tangga, ternyata ada tangga lagi! Oke, hitung-hitung olahraga lah kalau begitu.
Akhirnya, sampailah pada tempat acara. Masih cukup sepi, belum terlalu banyak orang yang datang. Berhubung sudah reservasi, tinggal mengecek nama dan diberi sebuah gulungan poster dan booklet kecil. Sempat ada ‘kejadian’ kecil ketika mengecek nama. Awalnya saya mengajukan nama saya, eh setelah dicari ternyata tidak ada. Saya langsung menunjukkan e-mail bukti konfirmasi reservasi, dan akhirnya diminta untuk menuliskan nama saya secara manual. Namun, ketika membuka halaman pertama daftar nama yang sudah pesan, ternyata ada! Saya lupa kalau saat mengirim e-mail, nama pertama yang dicantumkan adalah namanya Abi, bukan saya. Fyuh!
Sambil menunggu acara mulai, saya dan Abi menunggu Reily dan Luna yang masih dalam perjalanan. Padahal, mereka berangkat lebih dulu daripada kami berdua. Kami keluar, duduk di tangga berwarna broken white, sambil mempersiapkan masing-masing ‘senjata’ (re: kamera). Acara kali ini tak boleh kelewat untuk diabadikan, karena saya sendiri penasaran akan seperti apa penampilan para penampil dalam tur perdana itu. Selang beberapa menit, kedua teman saya pun akhirnya datang menghampiri kami.
Pukul tujuh malam, belum menunjukkan tanda-tanda acara akan segera dimulai. Sempat duduk santai sambil ngobrol di tangga, lalu menunggu di dekat venue. Ketika sudah diberi tanda boleh masuk, langsunglah kami berempat masuk ke dalam venue. Beruntung, kami berempat mendapat spot yang enak; persis di depan panggung sebelah kanan. Saking berada di sebelah kanan panggung, kami berempat langsung bersebelahan dengan sound system yang besar.
Ruangan itu tampak tak begitu besar, bisa dibilang seperti dua ruang kelas sekolah yang disatukan. Di atas ruangan, tampak sebuah disco ball besar berputar. Ini toh disco ball besar yang sering disebut oleh orang-orang. Panggung tampak sudah di-set sedemikian rupa untuk penampil pertama. Tak ada dekorasi, hanya dihiasi oleh disco ball yang menggantung. Panggungnya tak begitu tinggi, bahkan saat duduk masih enak untuk melihat ke arah panggung.
Di saat para penonton asyik duduk, band pertama pun masuk ke dalam venue. Sesosok wanita berbalut dress warna hitam dan lelaki berkaos hitam menyiapkan alat musiknya. Ini dia, Stars and Rabbit. Usai menyambut penonton, Elda −vokalis− bersama Adi, sang gitaris langsung melantunkan lagu pertamanya. Hal pertama yang memancing perhatian adalah vokal Elda yang bisa dibilang sangat unik. Saat pertama kali mendengar lagu mereka di Soundcloud, hal pertama yang terbesit di pikiran saya adalah, “Kok suaranya bisa kayak gini?” Duo beraliran folk ini tak menyertakan gitar sebagai alat musik tunggal, tapi ada juga pianika, tamborine, dan maracas. Karena baru pertama kali melihat penampilan mereka, saya hanya bisa menyaksikan sambil menikmati lagu-lagu yang mereka suguhkan, tanpa ikut menyanyikan liriknya. Hanya ada satu lagu yang sudah familiar di telinga saya, yaitu You Were The Universe. Tak hanya itu, celetukan-celetukan dari Elda menambah bumbu kesegaran dalam penampilan mereka, yang mengundang senyum dan tawa dari penonton.
Elda 'Stars and Rabbit' |
Tepuk tangan yang meriah untuk penampilan akhir Stars and Rabbit menjadi jembatan menuju penampil berikutnya yang juga dinanti; Dialog Dini Hari. Sambutan meriah tampak dari penonton ketika Dadang SH Pranoto alias Danki (vocal & guitar), Brozio Orah (bass), dan Denny Surya (drum) memasuki panggung. Penonton yang semula duduk, langsung diajak untuk bediri oleh Danki. Berdiri ternyata menjadi pilihan tepat ketika menyaksikan aksi tiga lelaki itu. Lagu mereka menyentak, menyeret penonton untuk berdendang mengikuti tiap bait lirik yang dilantunkan Danki. Ayunan kepala, tubuh, dan hentakan kaki penonton dapat dilihat ketika mengamati seisi ruangan. Banyak penonton yang sudah hapal betul lirik lagu-lagu Dialog Dini Hari, jadi tak heran bila hampir semua penonton tak hanya diam menyaksikan. Sesi sing a long pun tak terhindarkan, bahkan ada beberapa momen ketika Danki membiarkan penonton menyanyikan penggalan lirik lagunya.
Danki (kanan) dan Brozio Orah (kiri) 'Dialog Dini Hari' |
Ini kali kedua saya menyaksikan Dialog Dini Hari secara langsung, setelah di panggung Joyland dalam acara Djakartartmosphere 2011. Saya rasa penampilannya lebih apik di acara ini (mungkin karena sebelumnya saya belum terlalu memperhatikan band ini), karena sound-nya diakui amat bagus. Lagu-lagu yang dibawakan pun cukup familiar di telinga saya. Satu Cinta, Beranda Taman Hati + Rehat, Sekejap, Renovasi Otak, Pelangi, Aku Dimana, Lengkung Langit, Temui Dia, Aku Adalah Kamu merangkai keseluruhan penampilan Dialog Dini Hari dan Oksigen pun menjadi penutup penampilan mereka dalam rangkaian pertama tur tersebut.
Band yang ketiga tentunya paling dinanti oleh saya; White Shoes and The Couples Company (WSATCC). Setelah sekian acara dilewati, akhirnya saya berkesempatan untuk kembali menyaksikan aksi mereka di panggung. Apalagi, mereka baru saja pulang dari tur mereka di India, sehingga saya berekspektasi tinggi bahwa WSATCC akan membawakan sesuatu yang baru dalam penampilan mereka. Para personil mulai bersiap di posisinya masing-masing. Sebuah intro dibawakan, hingga mengantarkan pada satu momen, yakni Sari memasuki panggung. Sambutan meriah dari penonton makin terasa, menyambut penampilan WSATCC sebagai band terakhir dari rangkaian tur ‘Suara Tujuh Nada’ di Bandung. Saya sendiri tidak bisa membendung rasa senang saya ketika menyaksikan penampilan mereka. Antusiasme dan kegembiraan menjadi satu. Akibatnya, saya tak kuasa menahan godaan untuk berdendang dan bergoyang mengikuti irama musik tiap lagu yang dibawakan. Apalagi, penampilan WSATCC kali ini benar-benar beda dari yang terakhir saya lihat!
Sari (depan) dan Ale (belakang) 'WSATCC' |
Senja Menggila menjadi lagu pertama yang dibawakan, sekaligus menjadi intro kala itu. Dengan mengenakan dress klasik berwarna biru dongker, Sari memasuki panggung dengan senyum cerahnya. Wah, Sari benar-benar beda saat itu. Terakhir kali saya melihatnya di acara Symphonesia 2012, ia masih berambut panjang dan tak terlalu kurus. Kali ini, ia tampak lebih kurus dan panjang rambutnya hingga sebatas leher, dengan gaya khas jadul yang tak bisa dipungkiri lagi. Satu kata: Gila! Band ini makin lama makin ‘gila’; nyaris seluruh lagu dibawakan dengan tempo yang amat cepat. Bahkan, Sari makin atraktif di panggung; menari-nari sambil mendendangkan lagunya, yang jelas makin memancing penonton untuk ikut menari. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala karena terkesima, sambil ikut bernyanyi di hampir seluruh lagu yang dibawakan oleh mereka.
Ruangan itu menjadi hangat. Ruangan yang tadinya terasa dingin seperti lantainya, menjadi terasa hangat akibat gerakan yang tak bisa ditahan oleh seisi ruangan. Seruan penonton ketika ikut menyanyikan lagu mereka yang semakin nge-beat juga menjadi faktor mengapa ketika WSATCC tampil, crowd semakin menggila. Bahkan, Sari sempat turun dari panggung dan menynayi sambil menari di tengah-tengah penonton, dan tentunya penonton tak kuasa menahan diam!
Penonton dapat istirahat sejenak ketika lagu Vakansi dibawakan usai Senja Menggila dan Masa Remadja. Alunan Vakansi yang ‘santai’ kembali mengajak penonton bervakansi, menggali kembali memori akan vakansi yang tak terlupakan. Usai Vakansi, mereka membawakan tiga lagu daerah yang telah diaransemen, yakni Tjangkurileung, Lembe-lembe, dan Teo Rendang. Lagi-lagi, penonton diajak berdansa! Saya benar-benar tidak paham lagi, saking takjubnya melihat perubahan yang ada dalam aransemen lagu mereka. Tjangkurileung serasa sedang menari di atas lantai dansa, diiringi oleh lagu disko yang membahana. Begitu pula dengan Lembe-lembe dan Teo Rendang; tak ada istirahat untuk berdendang dan menari bersama!
Kiri-kanan: Ricky, Sari, dan Rio 'WSATCC' |
Selangkah Ke Seberang, Aksi Kucing, dan Matahari menjadi lagu selanjutnya yang dibawakan WSATCC. Benar-benar tidak diberi kesempatan untuk istirahat! Tapi hal itu benar-benar menyenangkan bagi saya. Terus bernyanyi dan bergoyang mengikuti irama musik, “Inilah yang saya tunggu-tunggu!”
Matahari awalnya didapuk sebagai lagu terakhir pada malam itu. Namun, lengkingan suara seluruh penonton yang menyerukan, “We want more! We want more!” membuat WSATCC kembali membawakan dua lagu, yakni lagu pamungkas Senandung Maaf dan Topstar dari album pertama mereka di tahun 2005. Encore tersebut memang dirasa masih belum cukup bagi saya; masih ingin menyaksikan penampilan mereka berikutnya. Namun, setelah melihat keseluruhan penampilan WSATCC pada malam itu, tampaknya keterlaluan sekali kalau saya masih belum puas juga. Topstar menutup aksi mereka, sekaligus rangkaian tur pertama mereka dalam ‘Suara Tujuh Nada’. Penonton tampak mengipas-ngipaskan kertas pada tubuh mereka, karena mayoritas penonton dibanjiri keringat usai menyaksikan WSATCC.
Ah, nyaris saja terlupa. Saya tak melewatkan kesempatan untuk membeli jurnal WSATCC yang hanya dicetak sebanyak 500 eksemplar itu sebelum acara dimulai. Jurnal itu disertai sebuah CD berisikan live performance dan interview session mereka ketika di India. Selain itu, saya beruntung mendapatkan setlist WSATCC pada malam itu setelah nyaris rebutan dengan seorang fotografer di akhir acara.
Malam yang amat berkesan bagi saya, karena acara ini berhasil membawa penonton ke dalam suatu rangkaian acara musik yang berkualitas. Hal yang sebenarnya amat dirindukan oleh para penikmat musik saat ini, karena jarang sekali acara yang dapat menyuguhkan musik seperti ini. Saya bukanlah pengamat musik, namun sebagai seorang penikmat musik, ada harapan selanjutnya untuk dapat menyaksikan acara seperti ini. Semoga tak hanya memuaskan keinginan penonton untuk menyaksikan band idolanya, tetapi juga dapat memberi dampak positif bagi industri musik Indonesia di masa mendatang.
(Untuk melihat lebih lengkap foto-foto dalam acara ini dari sudut pandang saya, silakan mampir ke laman Flickr saya di sini.)
0 comments