• Home
  • About
  • Contact
Powered by Blogger.
facebook twitter instagram Email

Curlnology

Pindah ke kota baru apalagi di negeri berbeda pastinya akan ada perubahan signifikan dari tempat tinggal lama, terutama budaya, cuaca, dan gaya hidup. Sampai saat ini saya pun masih dalam tahap adaptasi. Ditambah dengan perkuliahan saya yang belum dimulai, saya punya waktu luang untuk mengamati seluk-beluk kota Jaén (walaupun belum semuanya).

Anyway, ada kesan-kesan awal selama saya tinggal di sini. Mungkin bakal saya jabarin dalam bentuk poin ya, soalnya bakalan banyak banget!

  • Karena saya datang ke sini di awal musim gugur, jadinya suhu di Jaén nggak seekstrem saat musim panas (bisa nyampe 40°C lho!). Udaranya dingin, tapi mataharinya nyentring banget. Udara di sini juga kering parah, alhasil beberapa hari di sini hidung saya kepenuhan sama darah beku yang jadi upil.
  • Sejuk sih, tapi bikin kulit kering! Sewaktu di Jakarta saya agak males pake moisturizer dan body lotion. Tapi sekarang di Jaén, wajib hukumnya! Saya bahkan makin rajin pakai banyak moisturizer dicampur sunscreen karena udara keringnya nggak enak banget, meskipun wajah saya tergolong sangat berminyak. Selain itu saya juga sering semprot wajah pakai Hatomugi skin conditioner karena bikin adem dan nggak kering. Nyesel cuma bawa satu botol ke sini, huhuhu.
  • Saya masih kaget dan aneh dengan waktu matahari terbenam di sini. Di Jaén, mataharinya baru mulai terbenam pukul 8.30 malem. Jam 9 malem baru gelap. Kalau di Jakarta ‘kan mataharinya ‘menghilang’ pukul 6 sore.
  • Toko-toko di sini buka rata-rata pukul 9 pagi sampai jam 2 siang, lalu tutup dulu selama beberapa jam. Jeda waktu ini dikenal sebagai siesta. Saat siesta, orang-orang mengisi waktunya dengan makan siang, nyemil, istirahat, ngobrol sama kolega, atau bahkan napping. Baru lah sekitar pukul 3.30 sore atau 4.30 sore aktivitas toko dimulai lagi sampai 9.30 malam. Saya sempet agak kaget juga sama jam siesta itu karena pernah mau ke copistería (fotokopian) di kampus, jam setengah 3 sore tutup dan saya harus nunggu sampe jam setengah 5 sore.

  • Suasana di sini tenteram banget. Nggak bising dan tenang. Walaupun malem-malem sepi luar biasa (agak serem sih jadinya), tapi flatmate saya bilang kalau kriminalitas di Jaén bisa dibilang minim banget jadi di sini tergolong aman.
  • Most of people here are extremely kind. Nggak hanya itu, ketika mereka tahu saya kurang lancar ngomong bahasa Spanyol, mereka tetap sabar dan membantu. Justru mereka senang mendengar foreigner yang bisa bahasa mereka. 
  • Setiap ketemu penghuni flat lainnya, kenal nggak kenal, selalu saling menyapa, “Hola.” Kalau naik lift bareng atau papasan sebentar terus pisah, biasanya suka ngomong "Hasta luego." Ini juga berlaku ketika masuk dan meninggalkan toko. I think this is a very nice gesture!
  • Di jalan sering banget ketemu anjing beragam ukuran dari yang kecil lucu banget sampe yang besar garang tapi gemesin (tetep, nggak berani deket-deket karena takut). Uniknya, saya NGGAK PERNAH lihat kucing di sini. Asli! Kucing liar pun nggak pernah nemu. Mungkin karena rata-rata punya kucing indoor ya, jarang dibawa ke luar rumah.
  • SIDEWALK LEGA BUANGET. Akhirnya sodara-sodara, saya bisa jalan kaki tenang, nggak diklaksonin motor yang lewat trotoar. Jalan kaki di sini enak banget, asli (betis pun makin jadi, huahahaha). Bahkan saya ke kampus jalan kaki, jaraknya 1,6 km ditempuh selama 20 menit. Di sini jalanannya banyak tanjakannya terutama dari tempat saya ke pusat kota tua di mana Catedral de Jaén berada.
  • Ketika pejalan kaki mau menyeberang dan nggak ada lampu penyeberangan, mostly mobil di sini yang berhenti sampai pejalan kaki selesai nyeberang. Bagi saya ini salah satu momen yang jarang banget bisa saya rasain di Jakarta. Bahkan pernah saat nyeberang saya salah lihat jalur (jalur kendaraan di sini kebalik, btw), saya takut ketabrak mobil tapi malah berhenti di tengah jalan, hahaha sementara mobilnya udah berhenti.
  • Pakai plastik saat belanja di sini kena charge €0.05, jadi mesti bawa kantong sendiri kalau mau belanja dan makin irit.
  • Kalau mau naik bus, biayanya €0.98 sekali naik. Ada banyak trayek bus di Jaén, misalnya kampus UJA, centro de ciudad, centro comercial, dan lain-lain. Kalo mau cepet ke kampus atau mau pergi ke tempat yang agak jauh, bus bisa jadi pilihan.
  • Orang-orang di sini suka banget fiesta alias party alias pesta. Udah nggak heran, hahaha. Party-nya bisa di rumah atau di diskotek. Tapi selama di sini belum lihat party-nya orang Spanyol kayak gimana.
  • Banyak yang suka nangkring di cafetería atau cervezería untuk ketemu temen-temen dan ngobrol. Di tempat tertentu ada resto/café yang menyediakan tapas. Kalo nggak salah paham, tapas ini semacam makanan pendamping ketika minum bir/coke/lainnya. Ada banyak menu tapas yang bisa dipilih.
  • Buku di sini? Muahalnyaaaa ampun. Sedih sih soalnya mau beli buku jadi mikir-mikir banget. Untuk buku kursus bahasa Spanyol B1.1 pun udah kena €20.50 (dikali Rp 16 ribu ya…). Ini belum sama buku buat kuliah nanti. Huwaaa.
  • Biaya hidup di Jaén tergolong rendah dibanding Madrid. TAPI, biaya hidup di Jaén lebih tinggi sedikit dari Jakarta. Saya dapet sewa kamar flat €150 per bulan tapi belum sama biaya air, listrik, internet, dan gas. Itu tergolong menengah. Melihat fasilitas yang ada di sini, lokasi flat yang strategis walaupun 20 menit jalan kaki ke kampus, menurut saya harga sewa sudah sepadan. Kebayang ‘kan tinggal di Madrid mahalnya kayak apa?
  • Untuk makanan, enak semuanya hahaha. Di sini bisa nemu chorizo halal dan enak (chorizo ini the best, asli) juga lho! Bahan makanan seperti sayuran (brokoli, kentang, tomat, dll.), buah (lemon, melocoton, dll.) tergolong affordable per kilonya. Produk dairy seperti keju (yang muahalnya luar biasa di Jakarta), susu, butter, margarin, yogurt, dll. juga termasuk murah. Chia seed seberat 150g pun harganya cuma €1.  Ayam dan daging termasuk normal. Justru yang mahal di sini itu seafood dan kebanyakan dalam bentuk frozen. Kalau mau beli kiloan yang fresh, udangnya justru udah pada direbus. Ah iya, di sini banyak banget makanan kalengan yang justru banyak digemari warga lokal.
  • Produk harian seperti sampo, sabun cair, odol, dan obat kumur di sini ukurannya rata-rata jumbo, jarang nemu ukuran di bawah 1 liter, tapi harganya lumayan terjangkau mulai dari €0,99. Jadinya nggak perlu sering-sering belanja produk ini.
Itu baru segelintir kesan yang saya dapatkan selama 2 minggu tinggal di Jaén. Pastinya masih ada banyak hal-hal menarik yang bisa saya temukan di sini. Semoga ada kesempatan lagi untuk cerita, khususnya soal bahasa Spanyol dengan dialek Andalusia soalnya harus satu post sendiri ceritanya, hahaha.

¡Hasta luego, amigos!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Tepat dua minggu lalu saya menginjakan kaki saya untuk pertama kali di tanah Eropa, khususnya di Jaén, Spanyol. Berangkat tanggal 11 September, sampai di Madrid 12 September. Karena tiba malam hari dan capeknya luar biasa setelah melalui 3 connecting flights (asli, badan udah nggak ada rasanya pas sampai di hotel sambil gerek 2 koper besar), saya memutuskan untuk menginap semalam di Madrid sebelum berangkat ke Jaén esok harinya.

Dari Madrid ke Jaén ada beragam cara: kereta, bus, dan mobil. Kereta cukup mahal biayanya, yaitu €35 (silakan dikali Rp 16 ribu ya). Bus ‘hanya’ €19, sementara mobil menggunakan situs ‘blablacar’ (mirip Uber) mulai dari €19-€24. Lama perjalanan kereta dan bus hampir sama, yaitu sekitar 4-5 jam. Wah lama ya? Tapi itu bener-bener menempuh jarak jauh. Kalau nggak salah, Madrid-Jaén jaraknya 331 km.

Setibanya di Jaén saya dijemput oleh flatmate dan flat owner tempat tinggal saya selama di sini. Saya kaget juga sampai disamper keduanya (pake mobil pula) karena saya hanya berkomunikasi dengan flatmate dan nggak ada wacana dijemput pakai mobil. Padahal dari stasiun bus ke flat itu jaraknya kurang dari 1 km lho!

Di flat yang saya tempati, saya tinggal bersama ketiga teman baru yang juga mahasiswa UJA. Ada yang mahasiswa tingkat akhir, ada juga yang baru masuk seperti saya tapi mahasiswa S-1. So far, semuanya baiiiiikkk banget. Semuanya welcome dengan saya, bahkan membantu saya banget kalau ada apa-apa.

Ketiganya orang Spanyol, bisa ngomong bahasa Inggris sedikit. Alhasil, tiap hari saya ngomong bahasa Spanyol! Justru malah terbantu banget, karena sebelum studi saya mulai saya bisa membiasakan untuk mendengar dan berbicara dalam bahasa Spanyol full. Lagipula saat tiba di sini, kemampuan bahasa Spanyol saya masih rendah.

Lumayan banget selama dua minggu ini skill bahasa Spanyol saya meningkat, teman saya pun bilang awalnya saya hanya bisa mendengar omongan mereka pelan-pelan, sekarang sudah dalam kecepatan biasa (alias ngebut!). Plus saya ikut les bahasa di sini; peraih beasiswa dapat ikut kursus bahasa secara gratis. Dari kursus A1.1 sewaktu di Indonesia, sekarang jadi B1.1 di Spanyol. Deséame suerteeee!! (Wish me luck!)

Berhubung kuliahnya masih lama (23 Oktober), saya tergolong punya banyak waktu luang di sini. Selain menjalani aktivitas harian (makan, tidur, ngobrol, dan kursus bahasa hahaha), saya juga menyempatkan untuk jalan-jalan di sini. Jaén ini menarik loh, termasuk kota kecil tapi suasananya asik banget.

Sejauh ini, kesan tinggal selama 14 hari di Jaén sangat baik. Saya mulai beradaptasi dengan lingkungan, makanan, dan gaya hidup secara perlahan. Ada yang cukup mengagetkan, ada pula yang biasa-biasa aja. Semoga betah sampai beres kuliahnya!

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Am I dreaming?

Am I still in real life?

Because until this moment, I STILL can’t believe I am stepping my feet on this country and going to live here for a year.

***

Waktu itu saya sedang berada di Bengkulu untuk liputan. Saat lagi nangkring di halaman depan hotel tempat menginap gara-gara susah sinyal internet, tetiba smartphone saya menerima e-mail baru. Wah, bahasa Spanyol dan dari UJA.

“Wah jangan-jangan pengumuman beasiswa nih????!!!!”

Saya yang lagi nyusun bahan tulisan hasil liputan pagi harinya, langsung panik buka e-mail. Saya makin nggak karuan ketika download file-nya karena lemot luar biasa. Setelah nunggu sekitar 30 menit, akhirnya saya bisa melihat file berukuran 42 mB itu.

Then I saw my name on it with my GPA and the name of study that I will take with 44 others succeeding applicants.

“Ini seriusan???”

Setelah nunggu dari bulan Februari, aplikasi beasiswa sekolah di UJA ternyata diterima. Pihak kampus baru mengumumkannya bulan Juli pertengahan. Saya bahkan udah pasrah kalo nggak dapat beasiswa itu karena merasa peluang saya kecil. Beasiswa master degree ini hanya menerima 45 orang dengan pilihan jurusan yang diinginkan. Ditambah lowongan beasiswa ini dibuka untuk siapapun, which is saingan saya adalah orang-orang dari seluruh dunia.

Berhubung yang tahu lamaran ini cuma beberapa teman dekat, saya langsung nelepon Petek untuk ngasih tahu. Kenapa nggak orang tua yang dikasih tahu pertama kali? Well, it’s kinda complicated. Lagian saya mau ngasih tahu ke mereka secara langsung. Saya gemeteran, ngobrol sama Petek dan bahkan nanya harus ngapain saking kaget dan paniknya, hahaha.

Kembali lagi ke Jakarta, saya pun memberi tahu orang tua saya kalau saya mendapatkan beasiswa studi master di Spanyol. Awalnya kaget, kok bisa Spanyol? Saya menjelaskan segala macam detail beasiswa itu dan akhirnya mengantongi izin orang tua untuk melanjutkan sekolah di sana.

***

Kok bisa dapet?

Siapapun yang punya mimpi besar kalau mau usaha dan kerja keras pasti bisa terwujud kok.

Saya memang punya mimpi untuk bisa sekolah di luar negeri. Lalu Spanyol jadi salah satu negara impian saya untuk didatangi. Waktu itu sekitar awal Januari saya lagi membuka FB page Kedutaan Besar Spanyol, saya melihat salah satu postingan bahwa Universidad de Jaén membuka program “Becas de Atracción del Talento para Estudios del Máster”. Setelah membaca informasi lebih lengkap, saya mulai mengumpulkan nyali dan memikirkan banyak pertimbangan untuk mengirim lamaran.

Syaratnya tergolong sederhana, tapi kalau dipikir-pikir saingannya dan tanggung jawabnya luar biasa. Untuk mempertahankan beasiswa, minimal nilai yang harus dikantongi selama masa studi yakni 90% dengan skala nilai di Spanyol adalah 10. Plus, seluruh aktivitas perkuliahan HANYA dalam bahasa Spanyol. Selain itu saya juga nggak begitu yakin apakah pihak kampus melihat korelasi studi saya yang pertama dengan studi yang akan diambil di UJA (more details soon!).

Kemudian semenjak Februari, saya sudah mulai belajar bahasa Spanyol sendiri menggunakan segala macam aplikasi dan buku pelajaran. Namun pada April saya memutuskan untuk mengikuti les bahasa Spanyol di LBI UI hingga akhir Juni. Belajarnya pun terlepas dari aplikasi beasiswa yang saya kirim; saya benar-benar ingin belajar bahasa baru.

Fast forward to July, I finally got the answer.

***


Jujur aja saya sempet ragu untuk menerima beasiswa ini. Saya harus mengirim lembar pernyataan yang sudah ditanda tangan bahwa saya menyetujui seluruh syarat sebelum sah menjadi penerima beasiswa. Kenapa ragu?

Bisa nggak saya ngebut belajar bahasa Spanyol dalam beberapa bulan sebelum perkuliahan dimulai?
Ini saya beneran bisa atau ini semacam suicide mission?
Bisa nggak saya survive di negeri orang lain?
Do I really want to take this scholarship?
Do I brave enough to get out from my comfort zone?
What if I cannot accomplish the standard of the scholarship?

Saya mikirin ini sampe nggak bisa tidur beberapa hari, ditambah pressure untuk segera mengirimkan surat itu karena saya harus segera mengurus aplikasi visa. Berdasarkan beragam pertimbangan, akhirnya saya menandatangani surat itu dan menerima surat sakti dari kampus alias Letter of Acceptance. Por fin!

Ngurus visanya gimana? Wah.

Saya sampai speechless ngebayangin ulang proses mengurus syarat-syarat visa yang dibutuhkan waktu itu. Stress? Bangetbangetbanget. Saya harus nyiapin syarat visa dari 25 Juli sampai 10 Agustus, karena saya menargetkan untuk datang ke Kedubes Spanyol pada 11 Agustus. Bisa dibilang ini salah satu momen paling hectic, gila-gilaan, rumit, dan melelahkan selama 23 tahun hidup. Nggak bohong.

Harus bolak-balik Jakarta-Nangor-Bandung-Jakarta beberapa kali, ngurus legalisasi di beberapa kementerian, urus translasi, urus rekening koran bank, wara-wiri ke mana-mana pakai motor (tambah kena macet dan ban bocor ya), plus kerjaan lagi numpuk parah, dan lain-lain. Wah dramanya ampun-ampunan deh, rasanya pengen jungkir balik. Sampai akhirnya bisa ngelihat visa nempel di salah satu halaman paspor tuh rasanya lega banget.

I tell you what, this is not f*cking easy to achieve.

***


Untuk proses gimana cara urus visa, di post berikutnya saya mau cerita lagi, apalagi puanjaaang prosesnya. Nyari info soal gimana mengurus aplikasi visa studi di Spanyol di Google pun tergolong susah. I hope those posts will help you who want to apply student visa especially for Spain.

***


I would like to thank all my friends for such great support while I was ranting about how hard my visa application was. Petek, Ganda, Harith, Ani, Indah, muchas gracias. My parents also, sorry for not telling you at first because I didn’t want to bother you both but thank you so much for the full support. 

I also would like to thank Kak Putri (again, sorry for contacting you through FB Messenger all of sudden while I was in panic mode after receiving the e-mail, hahaha) for all the help and patience for answering all my questions related my study visa application, then Mirtha as fellow survivor to be new students in Jaén.

For my former lecturers and boss, thank you for supporting and allowing me to take this scholarship. This means a lot to me. Also some of my friends who listened to my “curhat singkat dadakan” when we met.

***


Nothing comes so easy. All the difficulties, you gotta conquer them all, from the smallest to biggest thing. Incluso cuando alguien te rompe tu corazón. If you’re sure about yourself and brave enough to take the challenge, what are you waiting for?

¡Hasta luego, amigos!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

The Writer

The Writer

Categories

travel Trip Experiences thought photography Solo Travel Spain Study

Popular Posts

  • Se...?
  • Is It Good Enough?
  • Making Itinerary for Your Trip

Instagram

@pspratiwi



Blog Archive

  • ►  2019 (1)
    • ►  October 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  December 2018 (2)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  May 2018 (1)
    • ►  February 2018 (1)
    • ►  January 2018 (3)
  • ▼  2017 (8)
    • ►  November 2017 (1)
    • ▼  September 2017 (3)
      • My First Thought(s) about Jaén
      • 14 Days in Jaén
      • ¡Hola, España!
    • ►  April 2017 (2)
    • ►  March 2017 (1)
    • ►  February 2017 (1)
  • ►  2016 (11)
    • ►  December 2016 (2)
    • ►  July 2016 (1)
    • ►  May 2016 (1)
    • ►  April 2016 (5)
    • ►  January 2016 (2)
  • ►  2015 (10)
    • ►  December 2015 (2)
    • ►  November 2015 (1)
    • ►  October 2015 (3)
    • ►  September 2015 (1)
    • ►  July 2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
  • ►  2014 (4)
    • ►  December 2014 (3)
    • ►  October 2014 (1)
  • ►  2013 (5)
    • ►  November 2013 (2)
    • ►  March 2013 (1)
    • ►  January 2013 (2)
  • ►  2012 (12)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (2)
    • ►  August 2012 (1)
    • ►  May 2012 (4)
    • ►  February 2012 (4)
  • ►  2011 (16)
    • ►  November 2011 (3)
    • ►  October 2011 (1)
    • ►  August 2011 (4)
    • ►  July 2011 (1)
    • ►  June 2011 (3)
    • ►  April 2011 (2)
    • ►  March 2011 (2)
  • ►  2010 (4)
    • ►  December 2010 (3)
    • ►  September 2010 (1)
  • ►  2009 (1)
    • ►  December 2009 (1)

Created with by ThemeXpose