Photo Essay: Tekad Seorang Penjual Pecel

by - 11:37 AM


Kegigihan.

Disaat semua orang sedang berada didalam rumah karena panasnya cuaca saat itu, tampak seorang wanita paruh baya sedang berkeliling di kompleks perumahan, sambil menggendong bakul dengan kain biru, membawa tampah diatas kepalanya, dan membawa sebuah kantung plastik hitam. Teriknya matahari tidak menghalangi wanita itu untuk berkeliling menjual makanan yang cukup sedikit diminati orang; pecel. Mungkin di kota seperti Jakarta, ada segelintir orang yang masih gemar makan pecel. Meskipun hanya beberapa, beruntunglah wanita ini ternyata memiliki pelanggan tetap yang banyak karena pecelnya yang khas.



Wakiyem. Itulah nama wanita yang biasa dipanggil ayu pecel oleh banyak pembeli pecelnya. Beliau berasal dari Kampung Sangkalan, Polokarto, Sukoharjo. Seorang wanita yang merantau dari kampung ke Jakarta demi mencari nafkah dan membantu kehidupan keluarganya. Suaminya, Pantowiyono, hanyalah seorang petani di kampungnya. Karena tekadnya yang kuat demi menghidupi keluarga, terutama anaknya, Wakiyem pun berangkat dari kampungnya menuju Jakarta. Ia meninggalkan suaminya di kampung untuk membantu menghidupi keluarganya; Wakiyem ingin sekali menyekolahkan anaknya.

Tahun 1992, itulah saat dimana Wakiyem merantau ke Jakarta. Mungkin banyak yang menyangka beliau datang ke Jakarta ditemani anaknya atau bahkan suaminya. Wakiyem datang dan tinggal di Jakarta sendirian. Ya, sendirian. Bisa kita rasakan kerasnya Jakarta, kota metropolitan dengan segala kemelut dan problemanya. Hanya dengan bermodalkan tekad dan semangat menghidupi keluarga, hal itu pun tidak menghalangi Wakiyem mencari nafkah di Jakarta.

Beliau tinggal di daerah Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Disanalah beliau tinggal sejak menjajaki Jakarta untuk pertama kalinya. Walaupun hanya seorang diri di Jakarta, beliau tetap bisa survive. Sejak tahun itu pula, Wakiyem berjualan pecel keliling.

Sulitnya hidup di Jakarta pernah beliau rasakan. Tidak hanya itu, Wakiyem juga pernah merasakan pahitnya berjualan pecel di Jakarta. Sedih rasanya ketika dagangan yang kita jajakan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak ada yang membeli. Suatu hari, Wakiyem pernah hanya menghasilkan Rp 10.000,- dalam satu hari. Betapa sedihnya perasaan Wakiyem saat itu, setelah capek berkeliling beberapa kompleks perumahan, hanya Rp 10.000,- yang bisa ia kantungi saat itu. Dengan penghasilan seperti itu, mungkinkah Wakiyem bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya? Mungkin saat itu dengan Rp 10.000,-, beliau hanya bisa untuk makan satu hari, belum untuk modal berjualan esok harinya. Sangat memprihatinkan bila mengalami kejadian yang pernah dialami Wakiyem saat berjualan. Beruntunglah Wakiyem sudah memiliki banyak pelanggan tetap. Kini, pecel buatannya sudah memiliki banyak ‘penggemar’, sehingga Wakiyem selalu dinanti pelanggannya saat sedang keliling kompleks perumahan.



Seluruh makanan yang ia jual merupakan buatannya sendiri. Dari daun pepaya yang direbus, kol rebus, bakwan goreng, lentuk, pisang goreng, mie goreng, lontong, hingga bubur sumsum. Bumbu pecel yang menjadi ciri khas pecelnya juga merupakan buatan Wakiyem. Selain itu, Wakiyem juga menjual rempeyek kacang dan rempeyek ikan teri. Beliau menjual rempeyek karena cocok sebagai teman makan pecel.

Keinginan, tujuan, dan mimpi yang ingin dicapai akan terwujud apabila semangat, usaha, dan kerja keras dilakukan. Keinginan Wakiyem yang ingin menyekolahkan anak-anaknya hingga ke tingkat pendidikan tinggi akhirnya terwujud setelah Wakiyem berjuang keras selama berada di Jakarta seorang diri. Bermodalkan pecel keliling, beliau sanggup menggapai impiannya, serta keinginan anak-anaknya untuk bersekolah.

Walaupun kini anak-anak Wakiyem telah bekerja, Wakiyem belum berniat berhenti dari pekerjaannya. Beliau masih ingin berjualan pecel. Entah kapan beliau akan berhenti. Langkah demi langkah, Wakiyem terus berjualan pecel, berjuang mencari nafkah untuk menghidupi keluargannya.

Suaminya hanyalah seorang petani di kampungnya. Mungkin dengan hanya bertani, kebutuhan keluarganya belum cukup terpenuhi. Akhirnya, Wakiyem pun‘turun’ tangan dalam menafkahi keluarganya. Bukan hal yang mengherankan apabila Wakiyem juga turut membantu suaminya menghidupi keluarga. Wakiyem tidak ingin hanya berdiam diri di rumah, memandangi suaminya sendiri banting tulang menghidupi keluarga. Wakiyem juga mengaku bahwa ia merupakan tipe wanita pekerja keras. Sebagai seorang istri dan ibu yang berbakti, Wakiyem tentunya memiliki keinginan kuat untuk membantu suaminya dan menyekolahkan anak-anaknya. Oleh karena itu, buah dari usaha yang telah beliau lakukan yaitu kesuksesan anak-anaknya menyelesaikan pendidikan. Sebuah hasil yang tentunya sangat membahagiakan Wakiyem.

“Pecel... Pecel... Pecel...”

Begitulah Wakiyem biasa menyerukan dagangannya setiap lewat di depan rumah. Lengkingan suaranya yang sangat khas mudah dihapal oleh pelanggannya. Setiap muncul teriakan “pecel” yang terdengar sekitar pukul sebelas pagi, sudah bisa dipastikan itu adalah suara Wakiyem. Setiap hari Wakiyem berkeliling kompleks perumahan di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Beliau berangkat dari rumah pukul sembilan pagi, kemudian pulang pada pukul dua siang. Wakiyem biasanya berjualan setiap hari, kecuali saat beliau sedang sakit atau pulang kampung.

Wakiyem selalu menaruh tampah dan bakulnya di lantai ketika akan menyiapkan pecel. Kekhasan daerahnya sangat terlihat saat menyajikan pecel; menggunakan daun pisang.


Semangat Wakiyem dalam menyekolahkan anaknya sangat patut diacungi jempol. Dengan tekad kuat, Wakiyem berani merantau ke Jakarta hanya untuk mencari nafkah sendirian. Alangkah hebatnya seorang Wakiyem mampu menyekolahkan ketiga anaknya hingga perguruan tinggi. Walaupun Wakiyem hanya berjualan pecel, semangatnya tidak pernah luntur. Pecel yang menjadi ciri khasnya ternyata mampu membantu Wakiyem mewujudkan keinginannya.

Seorang ibu, istri, dan penjual pecel. Itulah seorang wanita tangguh bernama Wakiyem. Dengan segala kebesaran hatinya menjalani hidup, beliau mampu melewati segala rintangan yang ada dan mampu membahagiakan orang-orang yang dicintainya.

Tekad wanita yang mampu menyekolahkan ketiga anaknya ke perguruan tinggi ini tidak akan pernah pudar. Wakiyem dengan pecel buatannya akan terus berkeliling dari satu rumah ke rumah lain, hingga Wakiyem tahu saatnya kapan beliau harus berhenti.

Wakiyem merupakan sosok yang patut menjadi panutan. Perjuangan yang telah beliau lakukan merupakan hal yang sangat tak ternilai bagi anak-anak serta keluarganya. Beliau juga sangat menginspirasi siapa saja yang mengetahui kisah hidupnya; menjalani hidup dengan penuh semangat dan tekad kuat, serta bertindak nyata dalam mewujudkan keinginan.
           

Senyum bahagia dari seorang penjual pecel yang mampu menyekolahkan ketiga anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi dan tidak pernah berhenti berjuang menjalani hidup. 

Dialah sesosok wanita bernama Wakiyem.

(Photo essay ini merupakan tugas akhir mata kuliah fotografi di kampus. Semoga hasilnya memuaskan... Untuk saran dan kritiknya ditunggu ya, saya masih harus banyak belajar bagaimana membuat photo essay yang baik nih, hehehe ☺)

You May Also Like

0 comments